[3rd-A] Sad Movie

sad movie 2nd

“I’m just different.  I’m different from the type of guy you want. I can’t be a nice guy.  You might be hurt because of me.  But, please don’t leave me.” -Diffrent, Winner

Sehun mengacak-acak surai dengan frustasi. Mungkin sudah ratusan ribu kali ia merayu sesonggok tubuh berusia delapan tahun yang sekarang sedang bergelung di dalam selimut. Songgokan itu adalah anaknya—Jino. Pria kecil itu marah pada Sehun karena ayahnya tidak mau menuruti permintaannya. Jino meminta agar sang Ibu datang ke rumah. Permintaan sederhana. Namun, bibir Sehun terlalu kelu untuk memohon pada Nara—Ibu Jino. Nara, sedikit kesal dengan Sehun. Sesungguhnya itu hanya persepsi Sehun. Pria itu mengingat bagaimana ekspresi mantan istrinya kemarin, seusai makan malam keluarga. Mood Nara nampaknya tidak terlalu baik.

“Jino, Dad hanya pergi ke Jepang sehari. Lusa sudah pulang. Kau bersama Bibi Soojung saja, ya? Bagaimana jika bersama nenek?” Ucap Sehun dengan nada memohon yang berlebihan.

Jino tidak bergerak di dalam selimut. Anak laki-laki itu merengut kesal. Jino hanya mau ibunya, ia bosan dengan Bibi Soojung. Setiap kali Jino dititipkan ke bibinya, ia hanya diajak menonton drama romantis. Berakhir dengan Bibi Soojung yang menangis haru dan Jino yang ketiduran.

Sehun mengendurkan dasinya sembari melirik jam dinding. Sudah hampir pukul setengah tujuh. Pesawatnya berangkat pukul setengah sembilan, belum lagi ia harus mengantar Jino sekolah. Sehun bisa terlambat!

“Ayolah, Oh Jino. Kau juga harus sekolah. Gurumu itu sangat cerewet. Ia memiliki banyak alasan untuk menelepon Dad dan kau tahu sendiri, butuh waktu satu jam untuk meladeninya. Belum lagi ajakan kencan, mengerikan sekali.” Sehun berujar, ia berusaha membuka selimut gambar Spiderman milik Jino.

Kenapa Sehun malah membicarakan kencan dengan anak kelas dua sekolah dasar?

Mungkin pikiran Sehun sedang bertikung-tikung. Bagaimana tidak? Biasanya Jino anak yang sangat penurut. Sehun sering menitipkannya kepada Soojung atau Soyeon jika Ia harus melakukan perjalanan bisnis. Tetapi, sekarang tawaran itu ditolak putranya mentah-mentah. Kedatangan Nara membuat Jino lengket—enggan berpisah dengan sang Ibu. Tentu saja itu membuat Sehun sakit kepala.

“Jino, Dad menyerah. Minta apa saja, asal tidak menyuruh Dad memohon lagi kepada Ibumu.” Bujuk Sehun sekali lagi.

Jino menyembulkan kepalanya. Mata anak itu terlihat berkaca-kaca. Bibir bawahnya begetar ganjil. “Mom akan pergi setelah enam hari. Jino hanya ingin Mommy,” kata Jino dengan suara serak.

Sehun menarik napas berat, senjata itu lagi. Well, Sehun sudah hafal. Senjata mematikan Jino. Mata berair, bibir bergetar, suara serak, dan air mata meluncur. Siapa saja akan luluh menatap raut menderita Jino yang menggemaskan? Bahkan, anak laki-lakinya sering sekali menampakkan raut itu agar mendapatkan eskrim, robot, atau gendongan.

“Oh Jino, tidak mempan. Ayah sudah—”

“—Jino ingin Mom atau Jino tidak mau pergi ke sekolah! Satu lagi, Jino akan beritahu Bu Guru kalau Dad mengundangnya—”

“—Oke, baiklah. Dad kalah dan kau menang. Kita ke Ibumu.” Potong Sehun sebelum, ancaman mengerikan keluar dari bibir putranya.

“Janji seorang pria tidak boleh diingkari,” kata Jino. Anak laki-laki yang sedang memakai piama kura-kura itu tidak dapat menyembunyikan raut gembira. Ia menyodorkan telapak tangan pada Sehun.

Sehun memutar bola mata, lihatlah ekspresi sedih Jino tadi hilang entah kemana. Anaknya pintar sekali berakting. “Janji seorang pria tidak boleh diingkari.” Sehun mengikuti ucapan Jino, kemudian ber-high five dengannya.

Yeah, begitulah para pria menyelesaikan persoalan.

“Belajar yang rajin jangan tidur di kelas,” Sehun berpesan kepada Jino yang hendak turun dari mobil. Sebagai jawaban putranya itu hanya melambaikan tangan. Cukup bosan dengan nasehat ayahnya yang diulang jutaan kali.

Setelah memastikan Jino masuk ke dalam gerbang sekolah, pria itu mengecek ponsel. Ada tanda sebuah pesan singkat masuk, membuat Sehun tidak sabar segera membuka. Baiklah, aku tunggu di restoran hotel, kira-kira begitu balasan pesan dari Nara. Yeah¸ katakan saja Sehun pria paling pengecut sedunia. Ia terlalu gengsi menjurus ke pengecut jika menelepon langsung dan mengatakan keperluannya pada Nara. Pria itu takut ditolak, istilah kasarnya seperti itu.

Persetan dengan olok-olokkan pengecut yang berputar di dalam kepalanya. Toh, sekarang Sehun tertawa kecil. Ia segera meluncurkan mobilnya ke tempat yang Nara minta tadi. Diselingi senandung pelan, pikirannya mulai merangkai beberapa kata bagaimana cara menyampaikan permintaan Jino.

Kenapa aku jadi, gugup begini berhadapan dengan si ceroboh itu? Batin Sehun.

Nyatanya, tutur kata ramah yang telah Sehun rancang tidak keluar dengan baik. Dia malah melancarkan kalimat sinis ketika bertemu mantan istrinya.

Lantaran mengucapkan selamat pagi atau sapaan basa-basi lain, pria itu langsung saja menduduki kursi di hadapan Nara. Restoran hotel tempat mereka berjanjian memang masih sepi. Hanya beberapa pasangan—yang dicurigai Sehun sedang berbulan madu, menikmati sarapan mereka.

“Kenapa kau suka sekali memakai pakaian minim seperti itu? Tidak sadar, mata pria di sekitarmu hampir keluar?” Tanya Sehun.

Nara yang pada saat itu, tidak  memperhatikan kedatangan Sehun karena asyik menikmati roti panggang krim vanila sembari membaca koran, hampir saja terjatuh dari kursiya. Ah, sudah berapa kali sejak hari pertama pertemuan Nara dan Sehun yang diwarnai insiden wanita itu hampir terjungkal? Tidak terhitung, itu jawabannya.

Nara mengedikkan bahu, lalu menggerakkan tangannya. Mengisyaratkan agar Sehun menunggu ia menelan roti panggang.

Sehun menatap Nara dalam-dalam. Ia memerhatikan kemeja putih tipis yang dikenakan Nara. Demi Tuhan, apa wanita ini sengaja mengumbar tubuhnya? Batin Sehun, tampak sibuk dengan asumsinya sendiri.

Nara menelan roti dengan tergesa, meminum jus jeruk lalu tersenyum manis. “Baiklah, apa yang perlu kita bicarakan Oh Sehun?” Tanya wanita itu ramah.

“Apa kau harus memakai kemeja tipis itu?” Sehun balik bertanya dengan pertanyaan yang amat sangat tidak penting.

Nara memicingkan mata, “Yeah, ini fashion. Sebenarnya aku punya yang lebih baik. Kenapa? Aku kelihatan gendut—”

Ucapan Nara terpotong saat ia menangkap gerakan Sehun. Pria itu berdiri melepas jas hitamnya, lalu menyampirkan di bahu Nara. Menutupi, kulit Nara yang menerawang.

“Terima kasih. Sungguh membantu,” sindir Nara.

“Jangan terlalu percaya diri. Aku tidak melakukan itu untuk menutupi kulitmu yang terlihat. Kau tau kan cuaca sedang tidak stabil—maksudku kalau kau flu bisa menulari Jino—baju mu itu terlalu mengundang angin—dan kau—”

“—Oke aku mengerti. Astaga, kalimatmu itu berbelit-belit. Langsung saja ke intinya. Aku mengantuk sekali dan ingin tidur lagi. Kau membangunkan aku terlalu pagi dengan pesan singkat sialan itu. Ugh, aku baru tidur pukul tiga—” Nara bercerita panjang lebar.

Sehun tidak seberapa peduli dengan ocehan Nara. Ia hanya menangkap jika wanita itu baru tidur pukul tiga pagi dan Sehun mempertanyakannya. “Jadi, kenapa kau tidur sepagi itu?”

“—Jadi aku sekarang. Hah? Oh, aku baru tidur jam tiga pagi karena, yeah berbincang dengan seseorang—”

“Dengan siapa?”

Sehun dapat melihat rona yang muncul di pipi wanita itu. Entah, kenapa Sehun tidak suka melihatnya. Apalagi, semburat merah itu muncul setelah pertanyaan dengan siapa Nara menghabiskan malamnya. Kalau-kalau Sehun punya kekuatan apapun itu, ia ingin sekali menghapus rona sialan pipi Nara.

Nara mengusap tengkuknya ketika ia merasa diperhatikan. “Apa itu benar-benar urusanmu?” Tanya Nara balik, sedikit ada nada tidak terima. Ayolah, pria itu terlalu ikut campur.

Sehun mendengus, “Tentu saja, Jino akan lebih sering bergaul denganmu seminggu ini. Aku tidak ingin anak laki-laki ku terkena pengaruh buruk.”

Nara melengoskan kepalanya. “Demi Tuhan. Mulutmu itu benar-benar kasar. Seburuk-buruknya aku, tidak akan pernah menjerumuskan Jino. Asal kau ingat Sehun, aku yang melahirkannya—”

“—Tapi aku yang membesarkanya,” seloroh Sehun. Membuat Nara benar-benar bungkam. Hm, adis itu tidak berkutik jika membahas soal tanggung jawab Ibu mengasuh anaknya. Ia akan menjadi terdakwa yang disalahkan.

Sehun menyadari perubahan suasana hati Nara. Wanita itu meletakkan garpu yang tadi sempat diacung-acungkan pada Sehun. Rautnya juga tampak sedih dan Sehun tidak suka melihat mantan istrinya berduka. Apalagi, gara-gara topik yang telah berusaha mereka kubur dalam-dalam. Setidaknya mereka tidak usah membahas hal-hal berat seminggu ini.

“Maaf,” ucap Sehun.

Nara melejitkan kedua bahunya lalu meringis, “Tidak apa-apa.”

Sedikit canggung Sehun mengutarakan permintaan Jino, barang kali dapat menjadi obat kekikukan mereka. “Kau bisa menginap di rumah?”

Nara menatap Sehun penuh tanda tanya. “Apa?”

“Menginap di tempat tinggal kita dulu.”

Bibir wanita itu sudah akan mengeluarkan kalimat penolakan yang ketus, namun dipotong oleh Sehun. “Jino yang meminta. Satu hari saja, temani Jino. Aku ada perjalanan bisnis ke Jepang.”

Nara tidak langsung menjawab. Ia berpikir beberapa detik, kemudian mengangguk. Bukan masalah yang besar, Ia harus menginap di rumah mereka. Hanya dia dan Jino. Tidak ada Sehun berarti aman.

Pikiran Sehun menyuarakan kelegaannya. Tentu saja, tidak ia tunjukkan. Ekspresinya sangat formal lalu berujar, “Terima kasih.”

Nara hanya memberikan tatapan tidak masalah, itu memang sudah tugasku. Nara merapikan piring, garpu, dan pisaunya. Sebenarnya hendak segera pergi dengan baik-baik, sebelum suasan damai ini tersandung pertengkaran lain.

“Satu hal yang harus kau ingat. Jangan membawa pria lain ke rumahku.” Sehun memulai topik lain ketika Nara akan mengakhiri perbincangan mereka.

Nara menatap Sehun galak, “Apa maksudmu?”

“Aku yakin kemarin malam kau menghabiskan malam dengan pria lain sampai tidur jam tiga pagi—”

“—Aku hanya menelepon Suho. Dia sedang berada di Jepang!” Suara Nara mulai melengking.

Sehun memutar bola matanya, “Itu sama saja—”

“—Apanya yang sama?”

“Berbincang di telepon sampai larut sama saja menghabiskan malam bersama, apalagi kalian bisa membicarakan hal yang—”

“—Sehun hentikan. Kita terlihat seperti suami dan istri yang sedang bertengkar.” Nara memotong perkataan Sehun.

Pria itu hanya menarik napas berat. Pembicaraan mereka benar-benar berputar, tidak ada pangkal dan ujung. “Terserahlah.” Akhirnya Sehun menyudahi, kemudian melirik jamtangan.

“Kau terlambat, ya?” Tanya Nara, mengikuti gelagat Sehun.

Sehun hanya mengangguk sebagai jawaban. Ia bangkit dari posisinya. “Sampai jumpa,” ujar pria itu sebagai tanda perpisahan.

“Sehun, tunggu.” Nara beranjak menyamai langkah Sehun.

Pria itu berhenti kemudian berbalik. “Ada apa?”

“Dasimu,” jawab Nara. Jemari Nara merapikan dasi mantan suaminya yang sangat berantakan. “Kapan kau berubah? Sudah hampir delapan tahun dan tetap tidak bisa memakai dasi dengan benar.”

Tubuh Sehun rasanya beku di tempat. Pria itu terpesona dengan wangi Nara, raut yang serius merapikan dasinya, dan kecantikan-kecantikan lain yang membuatnya jatuh cinta dulu.

“Kenapa harus belajar memakai dasi dengan benar, jika banyak wanita yang bersedia mengurusnya?” Sehun menjawab pertanyaan Nara dengan pertanyaan.

“—Aku benar-benar lupa kalau kau pria brengsek yang suka bermain dengan wanita, wanita, dan wanita.”

Nara berucap sembari menyelesaikan tarikan terakhir dengan kencang, “Nah, sudah selesai.”

“Ya, kau mau membunuhku!” Seru Sehun ketika Nara menarik dasinya ketat.

Nara menepuk pipi Sehun, “Andai saja, aku bisa mencari Daddy baru yang lebih baik darimu untuk Jino. Pasti aku sudah membunuhmu dari dulu—kau ayah yang lumayan.”

Nara berbalik dari tubuh Sehun yang masih terpekur. Mungkin pria itu sedang memproses ucapan mantan istrinya. Ada perasaan bangga yang meluncur dalam diri Nara ketika menyadari ia dapat membuat Sehun kaku. Seringaian Nara bertambah lebar saat Sehun menarik tangannya lalu menghentikan langkahnya.

Nara berbalik dengan raut meremehkan. “Ada apa lagi?”

Sehun tidak menjawab melalui bahasa verbal. Gerakkan tubuhnya yang mengambil kembali jas di bahu Nara, menjawab pertanyaan.

“Mau dibawa kemana jasku? Lihatlah, kebiasaanmu yang ini—” ujar Sehun sembari menyentuh ujung bibir Nara—ada krim roti disana.

“—menyisakan krim vanila di sudut bibirmu, tidak pernah berubah.”

Sehun tersenyum puas, menyadari semburat merah di pipi Nara. “Dan kalau kau lupa, awal mula kita membuat Jino juga gara-gara krim vanila di ujung bibirmu,” kata Sehun berbisik di telinga Nara.

Sepanjang hari Sehun hanya memakur tawa. Ia merasa urusan kantor berjalan dengan sangat lancar. Penerbangan ke Jepang tidak terlambat, kemenangan akan tender, dan tambahan gunungan uang yang siap dikirimkan klien. Pekerjaan Sehun sebagai konsultan public relations tak pernah berjalan semulus ini.

Apa itu karena pertemuannya dengan Nara? Entahlah, mood Sehun sedang baik dan ia tidak perlu pusing-pusing memikirkan penyebabnya.

Sehun hanya perlu bersantai menghabiskan malam di Tokyo, menunggu pagi tiba, kemudian pulang ke Seoul. Ia sedang menyesap kopi hangat di salah satu kafe terkenal, ketika seorang pria menepuk punggungnya. Sehun menoleh, senyumnya hilang tertelan pahit kopi yang ia sesap.

Pria itu duduk di kursi, semeja dengan Sehun. Wajahnya sehalus porselin, tidak lebih tinggi dari Sehun, dan bersurai blonde. Pria itu tersenyum dengan elegan. Memberikan tatapan ramah.

“Sehun, long time no see. Terlalu sibuk dan tidak sempat berkunjung ke Paris?” Tanya pria itu, acuh dengan raut kesal Sehun.

“Bersyukurlah Kim Suho karena aku tidak menginjakkan kaki ke Paris.”

Suho tertawa renyah, “Tentu saja. Aku jadi memiliki sedikit kebebasan.”

Sehun ingin sekali mendaratkan satu tonjokkan ringan di tawa Suho. Semakin keras pria itu menguar kebahagiannya, terdengar menyakitkan di telinga Sehun. “Tindakanmu sudah terlalu jauh. Kau tahu, aku gemar menyingkirkan benda-benda yang tidak bisa terkontrol,” ucap Sehun dengan bibir tipisnya.

Suho mengernyitkan alis. “Kau cemburu, aku memberikannya cincin?”

“Wanitaku tahu cara menolak pria yang tak sepadan.” Sehun menyelipkan tawa sinis.

“Kau tahu bagaimana karakter Nara. Aku saja butuh waktu bertahun-tahun agar ia rela tidur bersamaku,” Suho memancing kecemburuan Sehun.

Sehun melirik pria di hadapannya. Ia jadi berpikir, apa Suho mabuk? Suho bukan pria biasa. Pria itu selalu bertutur kata halus. Membicarakan kegiatannya tidur dengan seorang wanita, biasanya menjadi hal yang tabu.

“Apa aku harus memberikan apresiasi padamu soal hal itu, Kim Suho?” Tanya Sehun sarkatis.

Suho tampak pura-pura menimbang, “Sebagai bosku, tentunya harus.” Suho menekankan kata bos. Sehun menyeringai mendengar itu.

“Tidak perlu cemburu padaku, Oh Sehun. Kau membayarku untuk menjaganya selama ini. Secara otomatis, aku mengambil kepercayaannya agar ia bersedia menyerahkan tubuhnya untuk tetap di dalam pengawasanku,” Suho menjelaskan dengan gamblang.

Uraian Suho, membuat pikiran Sehun memutar kembali hal-hal konyol yang dilakukannya delapan tahun lalu—sampai sekarang, sebenarnya. Sehun bukan tipe pria yang akan membiarkan wanita yang dirinya cintai lari begitu saja dari hidupnya.

Sehun mengejar Nara hingga ke Paris, namun rasa bersalahnya terlalu besar untuk sekedar menarik tangan wanita itu agar kembali padanya. Ia melakukan segala hal yang membuat wanitanya tidak kelaparan di dinginnya kota Paris. Walaupun, harus melalui orang lain. Seperti, membayar tukang roti untuk mengantar roti dan susu ke kamar sewaan Nara setiap pagi, memberikan pakaian hangat melalui tetangga Nara, dan membuka toko di flat kecil seberang gedung tempat tinggal Nara, dengan barang-barang yang selalu diskon setengah harga bila wanita itu berbelanja. Puluhan  hal kecil lain yang ia rancang untuk memastikan bahwa Nara akan baik-baik saja.

Hingga pada puncaknya Sehun membeli Suho yang putus asa akan hidupnya. Suho pria malang yang ditinggalkan istrinya karena kesulitan finansial. Sehun menyelamatkan Suho dari usaha bunuh diri terjun dari Sungai Mylone.

Pikiran bodoh dari mana, jika diingat-ingat lagi membuat Sehun mual, ingin tertawa terbahak-bahak. Sehun menjual sebagian aset. Haknya sebagai keturunan Oh ditukar dengan sebuah kantor periklanan kecil di sudut Kota Paris.

Sehun memberikan perusahaan kecil itu kepada Suho dengan persyaratan, Suho harus bersedia menjadi kawan Nara, memberikan wanita itu pekerjaan, dan menjaganya.

Sehun mengawasi Nara—Sehun menjaga Nara—dari jauh. Itu sudah cukup. Sehun mengira hidupnya memang ditakdirkan untuk Nara. Menebus dosa besar, merenggut hal yang paling berharga dari wanita itu. Sehun bahagia menatap mantan istrinya membagi beban pada Suho. Nara tidak lagi seperti songgokan daging yang berjalan. Ia begitu hidup bersama Suho. Kendati demikian, kedekatan mereka membuat Sehun gelisah. Nara melupakanku, dia mencintai orang lain. Hal melankolis itu, bersarang di awang Sehun.

“Tidak berniat mengakaui jika kau mencintainya, Oh Sehun?” Tanya Suho, membuyarkan lamunan yang berputar.

Sehun menyesap kopi sebelum menjawab pertanyaan itu. “Tidak.”

Suho menautkan alis. “Kalau begitu jangan salahkan aku jika Nara benar-benar menerima cincin itu.”

“Ia sudah mengenakannya.”

“Sebagai simbol persahabatan,” tutur Suho.

“Dia menolakmu mentah-mentah.”

“Mentah seperti daging sapi. Tapi, tiga atau tahun-tahun lain dia benar-benar akan menjadi milikku.” Pria itu membalas ucapan Sehun. Tak ada nada bercanda di sana.

Sehun menatap tajam lawan bicaranya, ia seakan-akan sedang bertatap muka dengan seseorang yang menghancurkan hidupnya hingga ke akar.

“Jangan coba-coba,” Sehun mengancam.

Lantaran menanggapi ancaman Sehun, Suho merogoh jasnya. Mengeluarkan amplop putih, kemudian mengangsurkan ke arah Sehun. “Aku terlalu banyak berhutang padamu, tetapi aku tetap manusia yang ingin kebebasan.”

Sehun menampilkan raut bingung, menatap amplop putih itu. “Apa ini?”

Suho memasang senyum simpul. “Aku ke Jepang bukan hanya untuk urusan bisnis atau melaporkan tentang kinerja biro periklanan padamu.” Suho mengubah raut bersahabatnya menjadi kaku. “Itu berisi harga sepadan atas harga biro iklan yang kau beli dulu,” lanjut Suho.

Sehun berusaha menutupi keterkejutannya. Ada ekspektasi aneh yang membuatnya semakin gelisah. “Kau ingin mengakhiri kontrak?”

“Bertahun-tahun bersama Nara, terlalu munafik jika aku tidak mencintainya. Ini masalah kehidupan seseorang, Oh Sehun. Bukan hanya sebatas harga sebuah biro periklanan. Aku tidak ingin menjaganya hanya karena berutang padamu. Memastikan Nara bahagia tidak perlu tuntutanmu, tetapi murni karena keinginanku.”

Sehun menghamburkan tawanya mendengar diplomasi dari Suho. “Persetan dengan keinginanmu itu Kim Suho. Kau bisa menyimpan uang itu sebagai tambahan biaya pernikahan kalian.” Sehun memberikan nada remeh pada Suho.

Tidak ada emosi yang dikoarkan Suho, mendengar penghinaan Sehun. Suho sangat mengerti, bagaimana hati Sehun sebenarnya. Well, Suho paham pasti karena ia juga pernah ditinggalkan oleh wanita yang ia cintai. Picisan, jika diperuntukkan ukuran seorang pria, namun begitu adanya.

“Sikap pengecut dan gengsimu, harus segera direduksi, Oh Sehun. Waktu akan membuatmu menyesal.”

Sehun menjalin jari-jarinya. “Tidak semudah itu. Kesalahanku terlalu besar dan memalukan.” Nada suara Sehun melunak. Ia terlampau sering mendengar berbagai nasehat Suho akan penyesalannya. Sedikit banyak membuatnya terenyuh dan bosan.

Suho melejitkan bahu. Pria itu berpikir, Sehun terlalu keras akan perasaan bersalahnya. “Kalian masih muda pada saat itu.”

“Terlalu muda untuk menyepakati sesuatu dan membuangnya. Andai saja bayi itu tetap hidup—”

“Kalian masih memiliki Jino—”

“—Bayi perempuan itu juga anakku.” Sehun memotong, perasaan tertusuk datang kembali.

“Kalian berdua harus belajar menghargai apa yang masih tersisa. Ada kau, Nara, dan Jino. Sebelum semuanya habis tidak berbekas. Kau harus segera memperbaikinya, Oh Sehun.”

Sehun mengelola perkataan Suho. Dalam hati kecilnya, ada persetujuan atasnya. Namun, logika berperan serta mengikuti penyesalan. Ia tetap berandai-andai, memutar balik puzzle. Jika saja, aku tidak terlalu egois dan memberikan pilihan hidup untuk anak kami, apa Nara akan tetap bersamaku sekarang? Sehun bertanya dalam benaknya.

.

.

.

“Mereka punya kesempatan hidup yang sama Sehun. Aku mohon. Selamatkan bayi perempuanku.”

“Nara, dengar. Bayi laki-laki kita dapat dipastikan selamat, jika kita langsung memilihnya dalam operasi itu.”

“Bayi perempuan itu, juga anak kita!”

“Pernikahan kita untuk pewaris perusahaan, Jung Nara. Kita butuh anak laki-laki.”

“Berengsek, Oh Sehun. Aku mohon selamatkan keduanya jangan melukai salah satu dari mereka.”

Maaf, aku tidak bisa.”

“Aku mencintaimu, Oh Sehun. Tidak peduli kau mencintaiku atau tidak. Tapi, anak kuanakmu Oh Sehun. Kau harus mencitainya. Aku mohon.”

Alagille syndrome, begitu cara dokter spesialis menyebut penyakit bayi mereka—bayi perempuan mereka. Penyakit yang memberikan kelemahan jantung pada keduanya. Penyakit yang menyerang bayi mereka terbilang langka. Jantung Jino seperti terhubung pada saudari perempuannya. Ada salah satu pengembangan metode yang dapat dilakukan melalui operasi untuk kesembuhan anak perempuan mereka. Tetapi, hal itu mengancam keselamatan Jino karena harus mengambil salah satu sel penting, sedangkan Jino terlalu dini untuk sanggup melakukannya. Bayi perempuannya menderita disebabkan penyakit itu, Sehun tahu dengan pasti. Sehun masih dapat mendengar tangisan anak perempuannya di telinga. Bagaimana ia begitu mengasihi anak perempuannya, lemah di dalam inkubator. Rasanya telah membekas dan tidak bisa diobati, ketika ia mendapatkan keharusan memilih. Tanpa harus memilihpun, Sehun harus kehilangan bayi perempuannya. Bayi yang bahkan belum sempat ia timang. Membeku tak bernyawa karena penyakit itu, sebelum operasi.

“Kau membunuh anakku, Oh Sehun. Kau membunuh bayi perempuanku demi harta benda. Demi omong kosong.”

Dialog Nara untuknya menjadi garam di tengah luka. Sehun mencintai putra dan putrinya sama besar. Jiwanya terasa longsor saat bayi perempuannya menyerah kepada panggilan yang kuasa. Pria itu memutuskan menyelematkan keduanya. Ia justru kehilangan salah satunya, sebelum usaha dimulai.

Hal itu menjadi alasan.

Alasan terbesar Sehun membiarkan Nara pergi adalah dirinya yang terlalu pengecut untuk meminta maaf. Penyesalan besar dan rasa bersalah memuncak, terhadap kesalahan yang bukan miliknya.

Perjanjian konyol pra-nikah yang mereka buat, bisa saja Sehun gagalkan. Itu hanya gelora rasa pembakang Sehun untuk menunjukkan perlawanannya karena dipaksa menikah dengan wanita yang tidak ia cintai. Pada akhirnya, Sehun mencintai wanita itu dengan sepenuh hati. Otomatis janji mereka tentang perpisahan batal—setidaknya pemikiran Sehun seperti itu.

Sehun memijat pelipisnya, kenangan lama yang berusaha ia kubur mencuat kembali. Kenangan tentang anak kembarnya, cintanya pada Nara, dan keinginan Suho menikahi Nara. Kepalanya seperti tertimpa lemari besi. Pening.

Pria itu menekan kode pintu rumahnya setelah memarkirkan mobil. Langit masih gelap, belum ada tanda-tanda matahari menerobos keluar. Benar saja, ini masih pukul empat pagi.

Sehun memajukan jadwal penerbangannya. Ia terlalu gelisah, apabila terus berada di kamar hotel. Jauh dari Jino yang biasa menjadi pelipur laranya. Badannya memang terasa remuk, tetapi jauh lebih baik daripada pikirannya melalang buana.

Sehun segera menuju kamar Jino. Ia mendapati anak laki-lakinya itu telelap tidur di dalam dekapan seorang wanita yang ia kenal betul.

Sehun tersenyum lega, menangkap pemandangan di hadapannya. Kepenatan seperti menguap. Ekspresi damai yang tergambar jelas di raut lembut Nara, menepiskan kegelisahan. Kepolosan Jino dalam tidurnya, menekankan bahwa semuanya akan berlalu dengan mudah. Sehun percaya itu sebab mereka keluarganya. Pria itu menginginkan sehari saja, memiliki keutuhan dalam kehidupannya. Memiliki pasangan dan anak yang menyuguhkan kebahagian, barang sementara. Sehun menyadari, dulu ia sudah terlalu serakah. Hingga sudah sepantasnya, ia hanya mengecap secuil sekarang. Sehun paham dan berusaha menerima.

Sehun merajut langkah dengan perlahan—berusaha tidak mengusik mereka. Mebelai surai hitam Jino, kemudian mengucapkan, “Selamat pagi.”

Ragu-ragu Sehun menatap Nara dalam-dalam. Wanita itu memeluk Jino di tangan kanan. Terdapat pigura di tangan kiri yang ia dekap. Pigura membingkai foto seorang bayi di dalam inkubator. Foto itu memang sengaja Sehun letakkan di kamar Jino untuk memerkenalkan anak laki-laki itu pada saudarinya. Sehun menahan diri agar tidak kelewat batas, tetapi hal itu sia-sia. Tangan Sehun beranjak membenarkan anak rambut Nara yang berantakan. Mengusap pipi wanita itu dengan hati-hati, menyamakan Nara dengan gelas kristal yang mudah pecah. Sehun menikmati sentuhannya, menyadari saat Nara terbangun akan ada lenggang di antara mereka.

“Aku mencintaimu,” ucapnya kemudian.

-oOo-

929 thoughts on “[3rd-A] Sad Movie

  1. epriliany says:

    Huaa~ akhirnya setelah sekian lama aku baca FF kamu . Aku udah lama ga berkunjung kesini dan malah lebih tertarik lg buat baca ulang FF kamu yg ini. Suka! Sukses terus~

  2. Antherisoo says:

    AKU BAPER AKU BAPER AKU BAPER
    Kesel.
    Mereka terlalu egois terhadap diri mereka masing2 :(((
    Jangan gitu dong. Yg baca greget banget nih

  3. reshalee says:

    jadi suho beneran cinta sama nara??terus jino punya kembaran tambah penasaran aja.oh sehun pasti gelisah bnget suho pengen nikah sama nara.

  4. Yena says:

    Kesalahannya sehun cuman membuang apa yang ga dibutuhkan, dia Kira manusia bsa dg mudah nya di korbanin Demi kehidupan manusia lain 😫

  5. kokaihi says:

    love u to hun…..wkwkwkkk…
    jd bkan hnya sehun yg suka sma soyeon ya kslahan nya….makin rumit…
    👍👍👍👍👍

  6. Zahra99 says:

    Oh suho suruhannya sehun ya.. tapi di suka beneran sama nara.. dan seharusnya jino punya saudara kembar.. sedih pas baca bagian mendekati akhir part ini…

Leave a reply to Ajelbaek Cancel reply