The King of Pierrepont

844bbc0ce488baed195d29132f5ea820

Credit Pic: here

“I’ve fallen for you. I’ve lost my mind for you. You know this, but you still play on me.” ―Bad Girls, Henry feat Chanyeol

Chanyeol as Oliver Park

-oOo-

Pierrepont, biasa disebut sebagai negeri Jembatan Batu. Tanahnya di kelilingi dinding kokoh sebagai benteng yang menyembunyikan keseburun ladang. Banyak tumbuhan yang menjalar di sepanjang jalur setapak menuju selatan.

Kata pribumi yang tinggal di sana―Pierrepont bagian selatan merupakan tempat yang menarik untuk dikunjungi. Jalanannya pun bersih dan hijau. Banyak lembu yang digembalakan. Hasil panen membuncah serta air yang berkecukupan. Tanah selatan memang paling subur dan sejahtera, sebab pusat kerajaan Pierrepont berada di sana.

Penduduk selatan menamakan diri mereka sebagai Sutherland, penghuni kemakmuran. Sementara warga bagian lainnya dipanggil Wardland, sang penjaga kemakmuran. Tidak ada kasta yang menjadi kontrol sosial di negeri itu, hanya penyebutannya saja yang berbeda.

Seluruh bagian Pierrepont, baik Sutherland atau pun Wardland penuh kedamaian. Tak ada sejenak pun gagasan dari rakyat yang bergelimang kekayaan itu untuk menyulut perselisihan.

Semua anugerah yang ada di Pierrepont adalah berkat kecakapan dari sang Raja Muda. Pria perkasa yang cerdas, dapat melakukan segala hal, kecuali menarik hati wanita. Nyatanya, Raja Muda yang berparas rupawan, bertubuh jangkung dan tegap―oh, jangan lupakan netra hijaunya yang tajam―hanya bisa dipermainkan oleh pujaan hatinya.

Dirinya sedang merayu gadis itu, di tengah perjalanan mereka menuju istana, seusai berlatih pedang. “Aku telah memiliki segalanya, Olivia.” Ucap Raja Muda pada gadis yang berjalan bersisihan dengannya.

Si gadis pun tersenyum simpul sebagai respons. Bibir Olivia membentuk garis manis, melengkapi elok parasnya. Surainya yang tergerai, sedang terayun oleh angin dan terpapar teriknya matahari. Olivia menyelipkan anak rambut yang tak teratur sebelum menjawab. “Pantas saja, Oliver. Kau memang memiliki segalanya karena dirimu seorang raja.” Nada Olivia cuek. Ia sengaja memanggil Raja Muda dengan nama kecil pria itu, agar Oliver memahami bahwa Olivia sedang bicara dalam posisi seorang sahabat, bukan wanita lajang yang hendak ia rayu.

Oliver menghentikan langkah, lantas membuat Olivia bertindak serupa. Jubah hitam yang ia kenakan berhenti bergerak. Oliver memposisikan diri sedemikian rupa, hingga berhadapan dengan si gadis, “Tapi, ada satu hal yang tidak kumiliki. Aku belum mempunyai ratu.” Oliver memberi jeda, kemudian kembali berucap dengan sangat lirih, “Dengar Olivia Griffith, bagaimana jika kau menjadi ratuku?” tanya Raja Muda, tegas.

Senyum Olivia kembali bermain di ujung bibir. Ia enggan menguraikan jawaban. Olivia malah merajut langkahnya lagi, meninggalkan Raja Muda beserta pengawal yang membuntuti mereka sepanjang hari.

“Olivia Griffith, sebagai Raja Pierrepont, aku memerintahkanmu berhenti.” Titah Oliver, kepalang putus asa. Ia harus menurunkan derajatnya, ketika menggunakan namanya sebagai raja untuk keperluan pribadi.

Tidak.

Ini tidak sepenuhnya kepentingan Oliver semata. Menemukan ratu bagi Raja Muda, sama halnya memberikan pewaris untuk negeri tercinta. Dengan begitu, Oliver menghindarkan kerjaannya dari kepunahan.

Sebenarnya, Oliver bisa memilih gadis lain yang lebih rupawan dan baik budinya. Oliver bahkan hanya perlu menunjuk, maka gadis itu akan berada di ranjangnya pada menit berikutnya. Namun, satu-satunya gadis yang diinginkan Oliver saat ini hanyalah Olivia Griffith, putri laksamana termasyhur di Pierrepont. Sedangkan, Olivia lebih suka bermain tarik ukur dengan si Raja Muda.

Misalnya sekarang, si gadis hendak menguji keteguhan Oliver akan niatnya menjalin ikatan.

“Aku hanya menikah dengan pria yang mencintaiku.” Ujar Olivia lembut. Ia berbalik ke arah Raja Muda yang masih dikawal ketat oleh pasukan kerajaan, kira-kira ada dua belas pria bersenjata lengkap.

Oliver mendekatkan diri, agar dirinya bisa berbisik pelan di rungu si gadis yang tengah mengenakan jubah berwarna merah. “Sudah kubilang kan, aku merasakan itu.”

Olivia mengernyit, kemudian mundur satu langkah. “Memangnya, apa yang kau rasakan?” tanya si gadis, lugu. “Suaramu terlalu pelan, aku tidak bisa mendengarnya.” Lanjut, Olivia.

Oliver memutar bola mata. Ia tahu benar maksud sahabatnya itu. Olivia ingin, Oliver mempermalukan diri dengan mengaku cinta di depan pengawalnya. “Sudahlah, lupakan saja.” Timpal Oliver, kesal. Kini gilirannya yang berjalan, menghentakkan kaki. Hanya tiga langkah saja, lalu Oliver kembali ke samping Olivia. “Kau benar-benar tidak menerima tawaranku, ya?” tanya Oliver, lagi. Pria itu enggan menyembunyikan rasa penasarannya.

“Menurutmu?” Olivia menjawab pertanyaan dengan pertanyaan. Gadis itu menghela napas. “Ada satu hal lagi, aku hanya akan menikah dengan pria yang mencintaiku dan tergila-gila padaku.” Lanjut Olivia, sembari menepuk pipi Oliver.

Sigap prajurit yang siap siaga di sekitar Raja Muda, menghunus pedangnya pada Olivia. Ups! Si gadis lupa, menyentuh tubuh sang raja itu dilarang. Olivia mengkerut.

“Tidak apa-apa,” ucap Oliver kepada pasukannya yang segera menyarungkan pedang kembali. “Sepertinya, hanya kau saja yang berani menolakku.” Keluh Oliver, saat mereka kembali berjalan.

Si gadis refleks berujar, “Justru itu yang membuat kita saling menyukai.” Menyadari apa yang telah disuarakan, Olivia mengoreksi ucapannya. “Maksudku, justru itu yang membuat kita berteman.”

Oliver tersenyum miring. Ia sengaja meraih jari gadis itu, agar mereka dapat kembali berhenti. Oliver menunduk, bibirnya berucap dalam dan perlahan untuk memastikan hanya Olivia yang bisa mendengar pernyataannya. “I’ve fallen for you. I’ve lost my mind for you. You know this, but you still play on me.” Oliver sengaja tak menyia-nyiakan sekon yang berlalu, saat dirinya kembali berucap, “Bad girl.” Secepat kalimat itu meluncur, secergas itu pula kecupan Oliver mendarat di pipi Olivia.

Si gadis segera memasang jarak. “Oliver Park!” Sungut Olivia, kesal.

Sementara Oliver hanya memasang tawa lebar, sembari berseloroh, “Besok kita harus menikah. Kita tidak bisa mengelak lagi, banyak saksi mata di sini yang sudah menangkap basah, saat aku mengecupmu.”

Olivia mengambil langkah lebar-lebar, suara ketukan kakinya terdengar keras sebagai tanda betapa sebal dirinya atas kelakuan Oliver.

Tidak.

Olivia, tidak sungguhan kesal. Dia hanya berpura-pura, sebenarnya hati Olivia sedang berbunga-bunga.

Kenapa?

Karena di Pierrepont ada sebuah tradisi, apabila seorang raja mengecup gadis yang tak ada hubungan keluarga dengannya dan disaksikan oleh khalayak, maka gadis itu harus dinikahi sang raja.

Mau bagaimana lagi? Oliver sudah lelah diombang-ambingkan oleh kawannya itu. Lebih baik, Raja Muda memilih jalan alternatif agar menghemat waktu. Toh, mereka sudah saling jatuh cinta.

-oOo-

Kerajaan Pierrepont ini cuma fiktif belaka ya kawan-kawan hehehe.

Kolom komentar klik Track List.