Cost of Chance: About Protection

cost-of-chance

Poster by Alkindi

Previous:  Perfect Beginning – The Destiny

 

“It has started. I’m sending a danger signal from inside.” ―Monster, EXO


-oOo-

Dalam satu hari hidupku berubah. Aku yang dulunya gadis biasa, kini harus dihadapkan sebuah fakta bahwa diriku adalah pemegang kunci informasi penting di negara ini. Sangat konyol. Pikiranku bahkan enggan menerima. Bagiku, mereka mengatakan omong kosong. Aku tidak ingin peduli. Sama seperti cara mereka menggelontorkan informasi bodoh itu tanpa melihatku yang masih terkejut, sedih, dan terluka akibat kematian nenekku. Dengan ringannya mereka menjawab bahwa nenek adalah agen yang berperan sebagai orang terdekatku. Mereka seolah-olah menyatakan bahwa hidupku selama sembilan belas tahun ini penuh drama dan kepalsuan. Aku diperlakukan layaknya benda mati yang seakan dapat menerima pukulan bertubi-tubi.

Aku memilih bisu.

Aku memilih buta.

Aku memilih tuli.

Pilihanku itu datang saat mereka berkunjung satu minggu sekali untuk memeriksa keadaanku. Mereka memastikan sesuatu itu telah kembali padaku atau belum. Aku bahkan tak tahu apa yang mereka cari. Usiaku baru menginjak sembilan belas tahun dan aku terkurung dalam unit penyembuhan militer yang tingkat keamaannya setara dengan kepala negara.

Mereka menempatkanku di ruangan luas berdinding putih tak ada jendela, fasilitasnya serupa layanan rumah sakit kelas satu, dan pintu yang selalu tertutup. Ada kamar mandi di sudut kanan, lemari yang berisi seluruh pakaianku di rumah serta barang-barang lain yang membuat ruangan ini mirip dengan kamar tidur lamaku. Dua minggu lalu aku terbangun di sini dengan kepala diperban, tubuhku yang memar, tak bisa digerakkan. Aku disambut beberapa pria paruh baya yang mengaku sebagai wakil kepala pasukan khusus.

Mereka mengatakan tiga hal yang harus aku ingat.

Pertama, namaku yang sebenarnya bukanlah Jung Nara.

Kedua, aku tak bisa keluar dari ruangan ini tanpa pengawasan. Jika aku melanggarnya maka diriku akan mati.

Ketiga, aku adalah sumber informasi.

Dan ketiganya sama sekali di luar akal sehatku.

Aku mengenali pemuda itu. Dia berperawakan jangkung, hidungnya mancung, dan satu-satunya yang aku ingat netranya berwarna biru muda. Pria itulah yang dua kali menyelamatkan hidupku. Dia berada di hadapanku kali ini. Tak ada kain ataupun topi yang menutupi parasnya. Aku dapat mencermati wajahnya, dia tampan. Mungkin, pujian itu dikarenakan dirinya yang bertingkah selayaknya pahlawan di ingatan ini. Oleh karena itu, bibirku berucap memohon pertolongannya. Aku yakin untuk ketiga kalinya dia akan menjadi penolongku.

“Tolong aku,” bisik bibirku sangat pelan, sehingga pria berseragam hitam lain yang memasuki ruangan tempat diriku berbaring tak dapat mendengar. Ada dua orang termasuk pria itu yang sedang mengamati diriku. Biasanya, aku hanya dikunjungi oleh dokter. Namun, kali ini berbeda. Laki-laki yang pertama sudah kukenali, sedangkan yang kedua masih asing. Mereka berdua memiliki tinggi yang hampir sama. Ciri khas laki-laki kedua memiliki telinga yang lebar.

Mereka berbeda, tapi mempunyai aura yang serupa.

“Dia bicara,” ucap laki-laki bertelinga lebar. Dia menepuk bahu penyelamatku. “Aku rasa dia mengingatmu, Sehun,” lanjutnya.

Jadi namanya Sehun, batinku.

Aku terkejut ketika Sehun tiba-tiba menarik tanganku, kemudian melepas jarum infus yang ada di tubuhku.

“Hati-hati, Sehun. Jangan kasar kepadanya,” sambar si laki-laki bertelinga lebar. Rautnya mendadak kesal. Ia bahkan hampir melayangkan tinju andai saja jika aku tak buka suara.

“Aku tidak apa-apa,” lirihku.

Sehun tampaknya bergerak cepat. Ia segera memeriksa denyut nadiku melalui pergelangan tangan. “Kondisinya telah stabil. Dia bisa pulang hari ini. Unit yang berkaitan juga selesai memeriksanya,” ucap pria bersurai hitam itu kaku. Sepasang netranya menatapku tajam. “Prediksiku ingatannya akan kembali dalam waktu dekat―”

“―Apa yang kalian bicarakan? Ingatan?” Aku memotong penjelasan Sehun.

“Ingatan yang dapat membuatmu tetap hidup,” jawab laki-laki bertelinga lebar. Ia hendak meraih tanganku namun aku menolak. Dia hanya tersenyum maklum saat menerima respons dariku. “Tidak apa-apa. Wajar kalau kau bersikap begitu. Kita kan belum saling mengenal.” pria itu menghembuskan napas keras-keras, lalu memasang raut ceria. “Namaku Park Chanyeol, kita bersaudara, Park Yeora.”

Alisku bertaut karena bingung. Seingatku, aku tidak pernah memiliki saudara. Nenek pernah menjelaskan padaku bahwa aku anak tunggal yang sebatang kara karena ayah serta ibuku meninggal sewaktu aku masih kecil. “Kau salah,” aku berkata sembari semakin menjauhkan diri dari Chanyeol. Pandanganku beralih dari Chanyeol ke arah Sehun yang kini bersender pada dinding sambil melipat tangan di depan dada. Sehun melejitkan bahunya, saat aku mencoba meminta jawaban.

“Apa mereka belum menjelaskan mengenai jati dirimu?” tanya Chanyeol, netranya penuh dengan pertanyaan.

Aku yang mendapatkan tatap menyelidik dari pemuda itu lantas menimpali, “Tidak ada yang perlu dijelaskan. Namaku Jung Nara, aku lahir di Busan dan usiaku sembilan belas tahun.”

Chanyeol tertawa hambar. Entah mengapa cara pemuda itu tertawa membuatku takut, seolah keramahannya tadi menghilang. “Jadi, wanita sialan itu memberimu nama Jung Nara.” Chanyeol mendekatiku. Pemuda itu menyeringai, “Jangan sebut lagi nama itu di hadapanku jika kau masih ingin anggota tubuhmu lengkap.”
Napasku berhenti ketika pemuda itu mencekik leherku. Aku berusaha memberontak, namun tekanan jari-jari Chanyeol lebih menyakitkan dari sebelumnya. Aku semakin tersengal mencari oksigen. Netraku membulat tertuju pada Sehun, berusaha memohon pertolongan. Akan tetapi Sehun tetap diam, ia hanya menghela napas kasar.

“Kendalikan dirimu, Park Chanyeol. Kita masih membutuhkan gadis ini,” ucap Sehun pada akhirnya, intonasinya datar cenderung tak tertarik. Kendati demikian ucapan pemuda itu tampak berdampak besar, Chanyeol segera melonggarkan cekamannya pada leher ini.

“Baiklah, aku juga tidak ingin memberikan laporan berlembar-lembar karena meninggalkan memar di lehernya,” kata Chanyeol ringan. Pemuda itu melipat tangan di depan dada. “Yang kulakukan tadi belum seberapa, mulai hari ini hidupmu akan berbeda. Jangan pernah memercayai siapa pun, kecuali aku dan Sehun,” Chanyeol memberikan peringatan.

Aku tak sanggup menjawab. Leherku masih merasakan sakit. “Ah!” pekikku. Ketika sehun meraih tangan kananku lalu dengan cepat menyuntikku dengan jarum yang sangat kecil.

“Itu akan mengurangi rasa sakitmu,” jawab Sehun.

Tepat kalimatnya berakhir, saat itu juga tubuhku terasa melayang, hingga kedua kelopak mataku memaksa untuk menutup.

Sehun dan Chanyeol datang lagi pada pagi hari berikutnya. Mereka membawa baju baru untukku. Kemeja bermotif kotak-kotak bewarna abu-abu dan celana jeans hitam itu membalut tubuhku dengan pas. Kedua pria itu menungguku berganti pakaian sembari membicarakan mengenai hal-hal yang akan dibahas nanti.

Selepas keluar dari kamar mandi, Chanyeol langsung menyambut dengan senyum lebar―yang diartikan menakutkan oleh mata ini. Sementara Sehun sibuk dengan benda serupa pistol mini, dia mengisinya dengan peluru seperti jarum.

Aku terkejut ketika Chanyeol menarik tangan kananku agar duduk di kursi dekat tempat tidur. Ia memasangkan jam tangan digital berbentuk bulat berwarna merah. Aku mengamati arloji itu. Ternyata tak sekedar alat penunjuk waktu biasa. Setelah aku memutarnya muncul hologram yang berbentuk peta suatu tempat.

“Semua yang ditandai merah adalah tempat yang tidak dapat kau masuki,” jelas Chanyeol. Ia menunjuk seluruh area terlarang itu. “Jika kau melanggarnya, maka akan ada aliran listrik yang menyiksamu,” lanjutnya, nadanya mengancam.

Aku mengernyitkan alis bingung, mendengar ucapannya. “Apa aku sudah boleh keluar dari ruangan ini?” tanyaku yang langsung mendapatkan anggukan kepala dari Chanyeol. “Ini di mana?” bibirku kembali berucap.

Chanyeol tertawa. “Sudah hampir satu bulan kau di sini dan baru menanyakan hal itu.”

Aku memberengut. “Aku sudah berusaha menanyakan, tapi dokter sialan itu tak menjawab. Mereka hanya berucap soal pusat pertahanan militer, ” aku menimpali.

“Dokter sialan,” sahut Sehun. Ia lantas berdiri sembari membawa senapan kecilnya. Dia berdiri di hadapanku, jari-jarinya bergerak ia seperti membelai surai hitamku, lalu menyibaknya agar leherku dapat terlihat. Seluruh sentuhannya membuat tubuhku terdiam.

Netraku hanya terfokus pada parasnya yang terlihat lebih tampan dari hari sebelumnya. Pupilnya tetap berwarna biru muda, aku seperti melihat lautan dalam matanya.

“Ah!” teriakan itu berasal dari bibirku saat Sehun menembakkan pistol kecilnya pada leherku. Aku merasakan nyeri sejenak, namun sakit itu segera terhapus ketika Sehun mengoleskan sesuatu yang terasa dingin pada kulit leherku. “Apa yang kau lakukan?” tanyaku setelah beberapa sekon berselang.

Sehun menjauhkan dirinya. “Hanya pelampiasan rasa kesal,” jawabnya asal.

“Kesal?” ulangku tak percaya.

Chanyeol lagi-lagi tertawa. “Kau tadi menyebutnya ‘dokter sialan’,” jelas pemuda yang berpakaian serba hitam itu. “Dia kepala dari para dokter yang merawatmu selama ini, gadis naif.”

Aku sadar kalau mulutku terbuka beberapa inci, paduan ekspresi terkejut dan tak percaya menjadi satu.

Berapa umurnya? Tidak mungkin dia menjadi pemimpin pada umurnya yang sekarang.

Sehun tersenyum kecut. “Usiaku pertengahan dua puluh. Kau harus percaya sebab NIS memang merekrut manusia-manusia cerdas seperti diriku. Well, kecuali Chanyeol―”

“―Ya! Aku juga lulus tes dengan nilai sempurna,” Chanyeol membela diri.

Aku memotong perdebatan mereka. “Apa itu NIS?”

“Ternyata, ada yang lebih bodoh dari diriku,” sambar Chanyeol.

Aku mulai berani melotot ke arah pemuda itu. “Aku tidak belajar mengenai hal-hal yang tidak penting.” Aku menegaskan.

Chanyeol mendengus. “Oh baiklah, setelah ini jangan memohon untuk diselamatkan oleh hal-hal yang tak penting ini.”

“Hah, siapa yang minta diselamatkan―”

“―Apa perlu aku menembakkan obat penenang agar kalian menutup mulut,” sela Sehun nadanya dingin.

Sukses membuat aku dan Chanyeol bungkam.

“NIS atau biasa disebut National Intelligence Service adalah badan Intelijen Korea Selatan. Kau berada di bawah pengawasan kami, sehingga aku harus menanamkan alat pelacak pada lehermu.” Sehun melipat tangan di depan dada dan mengawasi aku serta Chanyeol. “Kami harus mendapatkan ingatan mengenai masa lalumu untuk menemukan dokumen rahasia yang hilang,” lanjutnya.

“Aku tidak mengerti―”

Sehun segera memotong perkataanku, “―Informasi lebih lanjut mengenai misi kita akan diberikan secara perlahan.” Ia memalingkan muka menghindari tatapanku. Bukan hanya sekali saja pemuda itu melakukan hal tersebut sudah sekian kali ia tak membalasa netraku. “Untuk sekarang kau hanya perlu memelajari seluk-beluk dari organisasi ini dengan begitu kau bisa bertahan hidup di sini, Ra.”

Aku mengangguk dengan setengah hati.
“Baiklah, saatnya kita berkeliling,” ujar Chanyeol riang ia berdiri dari tempat duduknya. Lalu memberikan isyarat padaku agar mengikutinya.

Chanyeol membuka pintu ruang inapku yang berlapis besi. Ia mendekatkan wajahnya ke layar kaca yang melekat pada dinding. Layar itu memindai paras Chanyeol.

“Akses ditolak,” aku tersentak mendengar suara yang menggema pada kamarku.

“Aw! Berengsek!” umpat Chanyeol sambil mengibaskan tangannya yang memakai jam tangan mirip dengan milikku hanya saja berbeda warna. Chanyeol memberengut. Ia menjauhkan wajah, kemudian mempersilahkan Sehun.

“Itu contoh kecil apabila kau berusaha membuka pintu yang bukan wewenangmu,” ucap Sehun ringan. “Karena Chanyeol berada posisi Executive Officer maka aliran listrik yang diberikan tidak mematikan. Ingat itu baik-baik,” lanjut si pemuda

Sehun dapat membuka pintu besi tersebut dalam sekali pindai.

Setelah pintu terbuka, aku terperangah dengan apa yang ada di hadapanku.

-oOo-

Aku mulai produktif lagi setelah sekian lama. Terima kasih sudah meluangkan waktu untuk membaca. Aku sangat menunggu kesan dan kritik kalian setelah membaca cerita ini (biar semakin semangat nulis lagi). 😀

33 thoughts on “Cost of Chance: About Protection

  1. Aquabee says:

    Sehun emang cocok ya dpt karakter yg dingin+misterius+pinter gt. Chanyeol jd punya hub darah sama nara, nara sbnrny bkn nama asli hmmm.. tunggu aja deh kelanjutan ceritanya. Thank you kak sdh di lanjutin ceritanya.

  2. Aeny_hun says:

    Kak titis …. uh kusenang akhirnya ada ff sehin lg.
    Ini ff critanya bagus kak ,buat penasaran plus deg2an … ijin baca lanjutannya ya

  3. Mrs.kim96 says:

    Ya ampun aku baru tahu ada cerita ini. Hm.. kangen Sehun Nara. Ijin baca ya, di part sebelumnya aku kebingungan buat nin ggalin komentar. Aku suka banget ceritanya semoga terus dilanjut 🙂

  4. kiki gigi says:

    Ini pertama kali aku membaca fanfict dg alur cerita seperti ini. Aku sangat suka bagaimana penggambaran setiap karakter di seri ini, membuat penasaran, akhirnya pembaca pun semakin antusias menunggu kelanjutannya.

  5. Hunrenelove says:

    Aku kira ini gak bakal dilanjut.. Eh tiba2 dapet notif updatean story ini di line 🙌 seneng bangetttt.. Semangat terus nulisnya kak tis ❤

  6. Choqah says:

    uwaaa kangen lho. aku langsung baca tiga soalnya lupa sama cerita sebelumnya. ini menarik. tapi aku tanya nih kak. nara lupa ingatan ya dan ga inget sama sekali kalau chanyeol kakaknya dan sehun yang paling di sayang. btw ini alurnya mundur ya atau maju tapi nara emang amnesia dan udah lama kepisah sama chanyeol dan sehun kah. bingung kak ehe tapi semangat buat next chapter aku tunggu

  7. Jean says:

    Akhirnya kisah mereka muncul lagi, sbnrnya nama asli nara itu beneran nara apa yeora ? Nggak sabar nunggu next eps biar tau kepastiannya ehehehy

  8. SWD says:

    oh mayyyyy akhirnya stelah sekian lama kak tis update lgi cost of chance yaa ..
    ya awohhh ff segini pnjang kyaknya masih kuranggggg wkwkkw , sehun dah mulai suka tuh hhmm

    next chap nya ditunggu kak , fighting ^^

  9. LDS says:

    Halo kak titis hehe akhirnya baca karya kakak lagi setelah sekian lama. Pakabar kak?
    Apa Krn kangen kakak bgt ya aku jadi enjoy bgt ngikutin ini sampe habis, pdhal ga biasanya aku menikmati ff chanhun hehe
    Keep writing!

Leave a comment