Dear Husband: Taken By The Past

20180222_131409_0001

Prev:

Dear Husband: The day When I Meet You

Memories are like a big garage, like the ocean. I’m be lost in them all day. Even this loneliness that I’m feeling are traces of you. So I force my eyes shut and am enduring through this day. I miss you so much.” Beautiful, Wanna One.

Sehun menyadari benar siapa gadis yang kini ada di ruang tamu kamar hotelnya. Wanita ceroboh dengan senyum kikuk yang terpasang di paras. Sepasang netra Sehun tak menangkap rasa khawatir ataupun curiga dari si gadis, walaupun mereka sekarang sedang berada di kamar hotel hanya berdua.

“Kau menurut saja saat Liv menyuruhmu ke sini,” ucap Sehun ia meminum wine yang tersuguh di meja depan mereka duduk.

“Jujur saja, aku tidak ingin ke tempatmu. Tapi, keadaan yang memaksaku,” jawab Nara sengaja mengimbuhkan nada angkuh pada cara bicaranya.

Respon itu membuat Sehun menaikkan alis. “Aku tidak peduli, Jung Nara. Kau menganggu waktu istirahatku.”

Kendati demikian, Nara tetap angkat bicara, tanpa berusaha menampilkan ekspresi penyesalan. “Kau itu tidak boleh menjadi anti sosial. Kau seharusnya mendengarkan dulu alasan

Ucapan Nara pun terputus ketika Sehun tiba-tiba berdiri dari duduknya. Pria itu memijat pelipis. Ia merasa sangat lelah setelah seharian penuh melakukan audit pada beberapa hotel yang dikelola oleh perusahaannya. Tentu saja begitu, apalagi Sehun baru kemarin tiba di Seoul. Tadinya Sehun akan mengganti pakaian kemudian berbaring sebelum gadis itu menggedor pintu.

“Apa bisa kita berbincang besok pagi saja?” tawar Sehun.

Nara menggeleng. “Aku tahu kau pasti capek, tapi Liv akan menghabisiku kalau tidak memastikanmu mencoba ini,” ungkap Nara sembari menunjuk paper bag yang ada di sofa. “Sebentar saja, ya? Kau hanya perlu melepas bajumu sekarang lalu

“Sekarang? Di sini?” ulang Sehun kali ini dia menarik ujung bibir ketika menyadari raut Nara berubah malu.

“Maksudku, ganti pakaian di kamar,” si gadis lekas membenahi ucapan. “Kau kan nantinya akan jadi best man Chanyeol jadi penampilanmu harus oke,” sambung Nara. Ia tersenyum, netranya memindai Sehun dari ujung kaki ke kepala. “Walaupun, wajahmu muram, tapi aku yakinwellsekarang teknologi semakin canggih untuk memerbaiki penampilan.”

Sehun memutar bola mata. “Kau bahkan lebih cerewet daripada Jung Ahra,” komentar Sehun sebelum ia mengambil baju yang dibawa si gadis, lalu pergi masuk ke kamar utama.

“Jung Ahra,” bisik Nara mengulangi nama yang tak asing itu. Tanpa berpikir lebih jauh Nara langsung mengikuti langkah Sehun. Ia menahan pintu kamar tidur si pria yang hendak menutup. “Bagaimana bisa kau mengenal kakakku?” tanya Nara.

Sehun membuka pintu lebih lebar membuat Nara sedikit terhuyung. “Ahra temanku,” jawab pria itu singkat. Ia memegang pundak Nara, kemudian mendorong si gadis pelan agar dirinya dapat menutup pintu.

Nara menatap pintu yang telah ditutup itu. Ia menggigit bibir, lalu berjongkok di hadapan pintu tersebut, kemudian menyembunyikan wajahnya pada lipatan tangan.

Hanya butuh waktu kurang dari lima menit bagi Sehun untuk memakai setelan jas. Ia terkejut mendapati Nara berada di sana dengan posisi yang menurutnya aneh. “Jung Nara,” panggil si pria.

Nara menengadah, rambutnya berantakan. Ia segera berdiri tegap, tak lupa menarik ujung bibir.

“Apa yang baru saja kau lakukan?”

“Bersitirahat,” balas Nara. “Wah, kau terlihat sangat fantastis,” puji Nara, ketika matanya menemukan Sehun yang terbalut sempurna oleh jas hitam.

“Kenapa tidak duduk di sofa?” timpal Sehun mengabaikan pujian Nara.

Nara menghela napas. “Sofa itu terlalu nyaman. Aku bisa ketiduran,” jawabnya.

“Gadis aneh,” gumam Sehun sambil lalu.

“Kau bilang Kak Ahra adalah temanmu. Tapi, aku tidak pernah melihatmu sebelumnya,” Nara memulai topik pembicaraan ketika Sehun mengangsurkan jas itu padanya.

“Kami berada di universitas yang sama,” Sehun mengoreksi jawaban, “Aku sempat berkuliah di Kyunghee sebelum memutuskan ke London.”

“Bagaimana kakakku waktu itu?” Nara sekali lagi menarik napas. “Sudah empat belas tahun berlalu, tidak ada orang yang bisa kuajak bicara mengenai dirinya,” gumam Nara. Gadis itu menatap Sehun penuh harapan. Ia tahu apabila ada ekspresi lain yang baru saja ditunjukkan oleh pria berusia pertengahan tiga puluhan tersebut. Dalam raut dingin itu, terdapat kesedihan yang Nara belum yakini.

Sehun yang sadar dipandangi Nara, segera membuang muka. Ia menghela napas berat sebelum menjawab singkat, “Aku tidak ingat.”

“Semua orang melupakannya. Apa karena dia sudah pergi sangat jauh?” oceh Nara. Gadis itu duduk di sofa. Ia menuangkan wine ke dalam gelas kristal miliknya yang tadinya kosong.

“Kau bilang tidak minum,” vokal Sehun. Pria itu menyipitkan mata, menatap Nara curiga ketika si gadis meneguk penuh-penuh isi gelasnya.

“Aku jadi sedih setiap meningat Jung Ahra. Dia seharusnya tidak sebaik itu padaku. Ah salah, aku yang terlalu sering minta ini dan itu. Kalau saja waktu itu aku tidak

Sehun memotong ucapan Nara. Ia merebut gelas kristal dari si gadis yang hendak diisi lagi. “Kau tidak boleh minum ini, perutmu bisa sakit dan kau mudah mabuk,” Sehun mengingatkan.

Nara bangun dari duduk. Dia tersenyum lebar, pipinya bersemu merah. Orang bodoh pun tahu jika gadis itu sudah mulai kehilangan kewarasannya. “Baiklah-baiklah, Tuan Oh Sehun yang kaya raya dan sangat tampan. Aku pergi. Kau tidak mau berbagi minuman sialan ini denganku. Pelit sekali,” ujar Nara. Gadis itu terhuyung-huyung menuju arah pintu.

“Kau sama sekali tidak kuat minum,” Sehun menangkap tubuh Nara. Pria itu memapah Nara sedangkan tangan yang lainnya membawa tas selempang si gadis.

“Kau baik sekali Sehun, tidak seperti Chanyeol,” oceh Nara. “Apa kau menjagaku gara-gara aku adik dari Kak Ahra?”

Sehun tak menjawab. Ia hanya memandangi raut Nara yang memang tak asing bagi perasaannya.

“Wah, kau apakan adikku?” Chanyeol terkejut mendapatkan pemandangan di balik pintu Keluarga Park yang baru saja dibuka. Chanyeol melihat Sehun sedang menggendong Nara yang tampaknya ketiduran.

Sehun memberikan isyarat melalui matanya yang tajam agar Chanyeol menyingkir. “Dia mabuk,” jelas Sehun singkat.

Chanyeol memberika jalan. “Mabuk?”

Sehun berjalan menaiki tangga lantai dua kemudian berbelok ke arah kanan menuju balkon utama yang merupakan ruangan khusus milik Nara. Ia segera membuka pintu yang dia yakini sebagai kamar tidur si gadis. Sehun paham benar mengenai tata letak rumah keluarga Park, bahkan setelah lima belas tahun lamanya dirinya tak lagi berkunjung ke sini.

Sehun membaringkan tubuh Nara dengan hati-hati dan menyelimutinya. Setelah memastikan Nara hangat, Pria berjaket biru tua itu berbalik arah berhadapan langsung dengan Chanyeol yang sedari tadi mengekori mereka.

Alis Chanyeol naik satu. “Kau apakan adikku?” Ia mengulangi kalimatnya, nadanya lebih serius kali ini.

“Dia sendiri yang minum wine itu,” kata Sehun. Ia memutar bola mata ketika Chanyeol masih meragukan jawabannya. “Nara membicarakan tentang Ahra, lalu dia bertingkah seperti orang gila,” Sehun melanjutkan.

Chanyeol menghela napas panjang, paru-parunya terasa sesak. “Baiklah, mungkin gadis kecil ini sedang merindukan saudaranya.” Chanyeol menepuk bahu Sehun. “Kau juga pasti merindukan Ahra. Mereka sangat mirip,” lanjut Chanyeol.

Ada jeda beberapa detik. Atensi Sehun ada pada Nara yang sedang tertidur. “Pertama kali aku melihat Nara. Aku seakan mendapatkan kesempatan kedua.”

Bahkan Liv pun mengganggu Nara ketika rapat di kantor. Seharusnya Nara mulai curiga ketika Liv memaksa junior asisten untuk pindah tempat duduk selama rapat mingguan itu berlangsung.

Olivia Kim tampak anggun dengan setelan kerja bewarna cokelat muda, tentu saja mendapatkan apapun yang ia inginkan―oh jangan lupakan semua toleransi yang dirinya dapatkan walaupun saat ini Liv tak berkonsentrasi sama sekali dengan tema rapat, malah berbisik-bisik mengusik Nara.

“Kata Chanyeol, kau dan Sehun minum bersama, ya?” ucap Liv pelan.

Nara yang memang sedari tadi pagi sangat tidak ingin diganggu memalingkan mukaberpura-pura tidak mendengar pertanyaan calon kakak iparnya.

“Apa saja yang kalian bicarakan?” Liv tetap mengoceh, “Jangan-jangan kalian berkencan. Hm, ternyata kau juga menyukai laki-laki yang usianya terpaut jauh,” selidik Liv.

Nara mengeluarkan suara aneh berupa batuk kecil.

“Apa kemarin semacam one night stand? Bagaimana rasanyaAww!” selorohan Liv berubah jadi pekikan ketika Nara menginjak kaki si kakak ipar.

Nara tersenyum puas ketika kepala divisi mereka menghentikan pidatonya yang membosankan.

“Ada apa Nona Kim?” tanya bos besaryang dimaksud besar adalah besar yang nyataPak Lee Younjae ialah bos Nara dan Liv yang memiliki perut sangat besar.

Bukan Liv namanya jika ia tak mampu mengendalikan situasi. Dia mengeluarkan ukiran bibir yang begitu menawan, setelahnya sengaja menyugar surai. “Begini Pak Lee, sebenarnya saya dan Nara membicarakan mengenai potensi dana,” ujar Liv serius.

Pak Lee pun sangat tertarik, bahkan ia enggan menyembunyikan ekspresi itu dari wajah. “Aku yakin orang yang kau rekomendasikan tidak pernah salah,” katanya.

Liv menggeleng. “Bukan rekomendasi dari saya, tetapi junior saya. Jung Nara yang sangat kompeten ini, baru saja memberitahukan bahwa pemilik The Three Clouds kembali ke Korea. Entah bagaimana takdir mempertemukan mereka, tinggal sedikit lagi Nara berhasil mendapatkan perjanjian pendatangan kontrak sponsor

Saya hanya menemuinya. Saya belum” suara Nara yang menginterupsi terputus ketika mendapatkan tatapan tajam dari Pak Lee yang dapat diartikan ‘diam dan dengarkan’.

Liv berdeham. “Well, bukankah ini kesempatan yang bagus? Kita semua tahu pengaruh perusahaan tersebut.” Wanita itu melejitkan bahu, “Kita bahkan tidak perlu memikirkan target lagi apabila The Three Clouds bersedia tanda tangan. Bukankah begitu Pak Lee?”

Pak Lee menyetujui, bahkan menunjukkan dua jempolnya yang besar pada Liv dan Nara.

Sementara Nara berusaha menjelaskan, “Aku belum bisa memastikan peluangnya masih sangat kecil

Kau harus berusaha Jung Nara. Aku tidak ingin tahu, dapatkan kontrak itu,” tutup Pak Lee yang jarang sekali menunjukkan ketegasannya.

Mulut Nara terbuka beberapa sentimeter tercengang atas sikap yang sangat tidak adil itu. Ia menoleh ke arah Liv yang sekarang menahan tawa.

“Kenapa kau dan Chanyeol sangat menjengkelkan,” bisik gadis yang kini memakai kemeja dan rok cerah itu. Ia mengacak rambutnya yang tadinya terkuncir rapi.

Liv menimpali dengan suara mendesis, “Aku akan mengajarimu cara merayu Sehun.”

Nara menanggapi dengan melotot kesal.

Nara jelas-jelas telah mencanangkan di pikirannya bahwa ia enggan bertemu Sehun lagi. Namun keadaan berkata lain. Liv menjebaknya, padahal Nara sudah kelewat malu dengan keadaan yang terjadi dua hari lalu. Bagaimana mungkin dia bisa ambruk padahal baru meminum dua gelas wine yang kadar alkoholnya rendah?

Nara sangat cemas, takut, dan gelisah karena dia bicara tentang hal yang tidak-tidak sewaktu mabuk. Nara tak ingat sama sekali apa yang terjadi.

“Apa yang harus kulakukan?” gumam Nara. Gadis itu kini sedang berada di depan pintu masuk salah satu restoran mewah di daerah Gangnam yang dimikliki oleh The Three Clouds. Nara menengadah melihat langit yang sudah mulai gelap. Ia menghembuskan napas keras-keras. Setelah di sana selama lima menit, Nara mulai melajukan kaki. Sebenarnya, tekadnya hanya separuh.

“Apa bisa saya bertemu dengan Oh Sehun?” tanya Nara pada pelayan perempuan yang menyambutnya ramah saat Nara memasuki restoran yang bergaya Eropa tersebut.

“Apa Anda Nona Kim?” tanyanya.

Nara menggeleng. “Saya Jung Nara, rekan dari Olivia Kim. Dia tidak dapat hadir, ada urusan mendadak.”

Pelayan wanita tersebut menimpali dengan ramah, “Baik, Nona Jung. Saya akan menghubungi Tuan Oh, mohon tunggu sebentar.”

Hanya berselang beberapa menit Nara berdiri di sana. Ia mengamati restoran ternama namun belum sempat dirinya kunjungi. Restoran tersebut lebih cocok dijadikan tempat untuk melakukan hal-hal istimewa seperti melamar kekasih atau mengungkapkan perasaan, tentunya bagi kalangan elit yang bingung cara menghabiskan uang mereka. Nara sendiri tidak berencana melenyapkan gajinya hanya untuk makan malam berkelas. Nara lebih suka makan ramyeon sambil menonton opera sabun di kamar.

“Nona Jung, silahkan ikuti saya,” ujar si Pelayan Wanita sebelum berjalan menaiki tangga, sementara Nara mengekorinya.

“Tempat ini sangat indah, hanya ada tiga lantai bertema klasik, tapi tidak membosankan. Siapa pun yang merancang pasti sangat jenius,” komentar Nara ketika mereka sampai ke lantai dua, lalu menaiki tangga menuju lantai tiga.

“Restoran ini dirancang langsung oleh calon istri Tuan Oh, kemudian beliau menjadikannya nyata sebagai hadiah pernikahan mereka empat belas tahun lalu,” jelas Pelayan Wanita yang kini menunjuk pintu utama di lantai tiga.

Nara tertegun sejenak. Hadiah pernikahan empat belas tahun lalu, batinnya.

Tentu saja, pria seperti Sehun pasti sudah menikah, hatinya kembali berbicara.

“Kau selalu datang untuk menggantikan Liv, Apa kau asistennya?” Sehun menyambut dengan pedas ketika Nara memasuki ruangan yang berukuran 8×9 meter tersebut. Tak ada hiasan di ruang yang serba hitam itu. Pada tengah ruangan ada kursi sofa dan meja tamu, setelahnya meja kerja Sehun bertengger menjadi pusat. Tulisan ‘The Evenue park’ tegak bersambung menjadi satu-satunya hal yang bewarna cerah di ruangan. Bahkan tirai dari jendela luas di belakang kursi kerja Sehun pun juga bewarna gelap.

“Aku seperti masuk ke dalam rumah hantu,” cibir Nara. Ia berjalan mendekati Sehun yang kini menyilangkan tangan di depan dada, raut angkuh pada pria itu seolah terpasang otomatis ketika bertemu Nara. “Aku bukan assisten Liv, kami rekan kerja. Sebenarnya, ini sedikit tidak profesional,” Nara memulai pembicaraan bahkan sebelum Sehun memintanya duduk di kursi tamu. Tak ada tanggapan dari pemuda tersebut, Sehun hanya memasang wajah datar. “Baiklah, perusahaanku mengajak kalian untuk menjadi partner. Aku membawa dokumen penawaran yang sangat menguntungkan. Tolong baca ini, aku sudah begadang selama dua hari untuk membuat semua ini

Bukankah kau tidak seharusnya bekerja terlalu keras?” potong Sehun. Ia berdiri dari duduknya, lalu melalui tangannya mengisyaratkan Nara untuk duduk di kursi tamu berseberangan dengan dirinya. “Sejak lahir jantungmu bermasalah,” lanjut Sehun. Pria yang kini mengenakan kemeja dan celana kain hitam mengangsurkan cangkir yang berisi teh hangat pada Nara.

“Bagaimana kau bisa tahu?” tanya Nara penasaran. Ia juga terkejut karena selama ini yang mengetahui sakitnya hanya keluarga terdekat, bahkan mereka sudah tidak membahas mengenai hal tersebut. Hal itu dikarenakan pada usia delapan tahun ia sempat menjalani pengobatan di Amerika yang membuat rasa sakit pada salah satu organ vital pada tubuhnya berkurang. “Apa Chanyeol yang memberitahukannya padamu?” Nara sekali lagi angkat bicara.

Kali ini tatapan Sehun mengarah pada lawan bicaranya, namun ada kekosongan di sana. Sehun berdeham sebentar untuk mengumpulkan logika, Ia tadi sempat dikalahkan oleh emosi yang kentara. “Bukan, Ahra yang bercerita mengenai mengenai dirimu. Kau salah satu hal yang membebani hidupnya, hingga Ia depresi sampai akhir hidupnya. Dia bahkan harus membuat keputusan yang pada akhirnya terbunuh.”

Nara mengerjapkan mata. Ia sama sekali tak mengira akan mendengar ucapan menyakitkan dari laki-laki berusia tiga puluh empat tahun itu. Rasanya Nara ingin menyiramkan teh yang kini ia pegang pada Sehun. Nara menghela napas panjang. Berusaha mengendalikan diri karena di dalam hatinya membenarkan ucapan Sehun. Jung Ahra adalah kakaknya yang selama delapan tahun menjadi seluruh penyokong kesialannya. IbunyaHan Haeratak pernah lagi mempedulikan Ahra sejak Nara lahir. Seluruh keluarganya pun bertindak demikian. Namun, Ahra tak pernah merasa sedikit pun benci pada Nara. Ia justru melimpahkan kasih sayang yang ia punya pada sang adik. Hal tersebut sampai pada kejadian empat belas tahun lalu. Ahra yang menyelamatkan Nara dari sesuatu yang bahkan Nara tak dapat mengingatnya. Kejadian buruk yang membuat Nara mengerti rasanya kesepian dan diabaikan. Semenjak itu, ibunya tak ingin lagi bertemu dengannya.

“Apa kau ingin menangis?” Sehun mengisi keheningan yang terjadi. Laki-laki itu tersenyum yang entah bagaimana terlihat menakutkan di mata Nara. “Simpan airmatamu, Jung Nara. Setelah ini, kau akan menggantikan tempat Ahra dan mengerti apa yang dirasakan Jung Ahra saat itu.”

“Nara,” sambut Chanyeol ketika Nara menghambur untuk memeluk kakaknya. Nara berada di kamarnya sekarang. Ia mengenakan piama biru tua yang bermotif bunga, sementara Chanyeol masih dengan setelan kemeja lengan panjang yang ditekuk sesiku dan dasi yang dilonggarkan.

Chanyeol memang buru-buru untuk naik ke lantai dua rumahnya ketika assisten rumah tangga Keluarga Park mengabarkan kondisi Nona Muda mereka yang demam. Ia tak perlu menunggu lama agar Nara membuka pintu, kemudian si gadis muda menangis.

Chanyeol dengan sabar membelai surai si gadis dengan penuh sayang. Bahkan ia rela menyimpan kejahilan lain yang tadinya ia rencanakan untuk menggoda sang adik. “Tidak apa-apa, semua baik-baik saja,” gumam Chanyeol. Pria itu bahkan tak menanyakan alasan Nara menangis. Ia tahu apabila Nara memerlukan ruang agar bersedia cerita. Chanyeol paham benar apa yang harus ia lakukan.

Nara memeluk Chanyeol semakin erat. Ia sama sekali tidak menjawab, Nara hanya menangis.

“Apa kau merindukan ibumu?” tanya Chanyeol selang beberapa menit mereka berdiam diri dalam posisi tersebut.

Nara mengangguk. “Aku juga sangat rindu pada Kak Ahra, walaupun aku tidak bisa mengingat dengan baik semua yang terjadi waktu itu,” si gadis berucap sembari mengendurkan dekapannya. Ia menyalurkan seluruh atensinya pada Chanyeol. “Apa yang terjadi saat itu? Kenapa Sehun sangat membenciku? Padahal kami baru beberapa kali bertemu.”

Chanyeol memberikan senyum simpul. Ia menghapus berkas-berkas airmata adiknya. “Tidak ada yang terjadi. Kau melupakan hal yang memang tidak penting. Mungkin mood Sehun sedang tidak baik

Jangan berbohong lagi. Aku mohon. Jika memang baik-baik saja, kenapa kita hanya tinggal berdua di rumah ini? Kenapa ibuku tak ingin menemuiku?” Nara memotong ucapan Chanyeol. Gadis itu mengacak surai. Ia duduk di ranjang. “Lalu, kenapa pria yang bahkan tak kukenal sebelumnya begitu membenciku?” lanjutnya.

Chanyeol menghembuskan napas. “Dia tidak membencimu. Sehun hanya belum bisa mencerna keadaan dengan baik karena paras gadis yang dulu sangat ia cintai, muncul kembali di hadapannya.” Pria itu menunduk. “Gaya bicaramu. Pakaianmu, pikiranmu, dan makanan favoritmu serupa Ahra.”

“Sehun mencintai Ahra,” simpul Nara.

Pria itu meraup wajah. “Sehun sangat mencintainya, itu bukan hal yang dapat diselesaikan dengan sederhana,” tutup Chanyeol.

-oOo-

Maaf ya belum ada posternya untuk cerita ini. Aku bingung buatnya dimana. Kalau sudah ada covernya nanti aku publish juga di wattpad. Happy week end!

n/b: Jika masih ada siders maka part selanjutnya akan aku protect.

306 thoughts on “Dear Husband: Taken By The Past

  1. octaviyot says:

    Tuh kan bener makin kesini makin penih rahasia jalan cerita nya tauk 😂 baca nya tuh makin semangat saking penasaran nya

  2. nai_nai says:

    padahal chanyeol dah kasihtau nara klo sehun (sangat / selalu) mencintai ahra…
    jadi tantangan nara buat naklukin hatinya sehun, huuuffftttt….

  3. Gaemgyu says:

    Aq msh blm bisa ngerti maksud ny gmn,,apa yg bkin ahra mati berhub sm nara?trus ibu nya knp gk mau ktm anak nya??pst ada sesuatu nh,,aq pkir sehun suka sm nara,tp wkt pekerja restoran ny blg kl sehun prnh nikah,aq lgsg kaget gitu…apa ahra dlu istri nya sehun???ah,sumpah,bkin penasaran n deg2an sndiri baca nya..

Leave a reply to Dzaaa Cancel reply