Good Morning

good morning poster

Author

Twelveblossom

Cast

Luhan

 Han Jiwon (OC)

Genre

 Fluff & Marriage Life

Length One shoot

Rated PG-15

This story line imine, please don’t copy paste.

*** Good Morning***

Karena Luhan selalu membuat Jiwon basah setiap pagi.

Dan karena itu Jiwon mencintai Luhan setiap hari.

*** Good Morning***

Menikah. Kata itu terdengar sederhana, tetapi memiliki makna yang luar biasa. Satu hal yang digaris bawahi dalam berbagai makna dari ‘menikah’ adalah hidup mu menjadi lebih manis. Paling tidak itu yang dipikirkan Han Jiwon.

Gadis itu bermimpi selalu mendapatkan ucapan  dan kecupan selamat pagi dari suaminya. Bermimpi bermalas-malasan di ranjang lalu sang suami mengantarkan sarapan pagi. Bermimpi mendapatkan bunga mawar yang indah di pagi hari dari suaminya.

Bermimpi.

Ya, benar. Jiwon hanya bisa bermimpi.

Luhan—suaminya yang jauh dari romantis, tidak pernah melakukan kegiatan manis. Jiwon memang tidak ingin Luhan menjadi pria penuh dengan gombalan manis.

Tetapi… Ayolah!

Jiwon juga gadis yang ingin mendapatkan sarapan manis—kecupan dari Luhan, satu atau dua kali dalam seumur hidupnya.

Jangankan melakukan hal-hal itu, Luhan rasanya tidak memiliki energi untuk mengucapkan ‘selamat pagi’. Jangankan untuk mengucapkan ‘selamat pagi’, rasanya Luhan tidak memiliki kekuatan untuk membuka mata.

Luhan si pemalas selalu bangun kesiangan.

Luhan suaminya berhati batu, menyebalkan, dan sok sekali.

Jiwon sempat ingin menyiram Luhan dengan air,  agar ia bisa bangun pagi. Keinginan hanya sebatas keinginan. Keinginan gadis itu gagal. Jiwon akan luluh apabila mendapati wajah polos Luhan yang tertidur pulas.

Sungguh, tidak berdaya.

Lebih parah lagi…

Sebenarnya, Jiwon memiliki keinginan kuat untuk menyiram Luhan agar terbangun, tetapi justru gadis itu yang selalu basah setiap pagi. Tentu saja, basah karena ulah Luhan. Lebih tepatnya oleh air liur.

Air liur? Terlalu menjijikkan.

Lalu, kita harus menyebutnya apa?

Air yang mengalir dari bibir Luhan? Itu terlalu panjang.

Air liur Luhan saja, agar terlihat singkat.

Baiklah, air liur Luhan.

Setiap pagi Jiwon hanya mendapatkan air liur Luhan yang merembes dari bibir. Membasahi rambut, baju, dan pipi Jiwon. Kebiasaan Luhan tidur sambil memeluknya erat—memperlakukan Jiwon sebagai guling, sungguh tidak menguntungkan. Luhan, tidak mengijinkan Jiwon untuk kabur dari banjir air liur.

Nasib itu diterima Jiwon.

Sejuta kalipun Jiwon terendam air liur Luhan, gadis itu akan menerimanya dengan pasrah.

Karena apa?

Karena Jiwon mencintai Luhan lebih dari bencana banjir air liur Luhan. Kalau dipikir-pikir, mana mungkin air liur Luhan dapat melunturkan rasa cinta Jiwon terhadap pria itu.

Tidak mungkin.

Tapi, ada kemungkin lain.

Mungkin saja, Jiwon tenggelam oleh air liur Luhan.

Ah, jorok! Hentikan membahas air liur Luhan.

Lebih baik, kita lanjutkan ceritanya.

Pagi kali ini berjalan layaknya pagi yang dulu-dulu. Luhan dan Jiwon berbaring di ranjang dengan selimut yang menutupi tubuh mereka. Jiwon mengenakan kemeja putih kebesaran Luhan. Pria itu mengenakan celana panjang hitam kantornya. Luhan terlalu terburu-buru mencumbu Jiwon tadi malam, tidak sempat mandi atau ganti baju sepulang dari kantor.

Luhan memeluk Jiwon erat, gadis itu menjadikan dada Luhan sebagai bantal. Lalu air liur Luhan mengalir ke rambut Jiwon.

Merasakan rambutnya mulai basah, Jiwon menggeliat pelan dalam pelukan Luhan. Hidung Jiwon mengendus bau tidak enak. Hidung gadis itu terus bergerak hingga menemukan pipi Luhan yang… basah?

Basah, tunggu dulu!

Apa apartemennya bocor?

Apa sedang ada banjir?

Banjir?

Banjir sepagi ini. Ah, banjir air liur Luhan!

Oh my ghost.

Kenyataan itu membuat Jiwon terbangun.

“Menjijikkan! Luhan!” Seru Jiwon, heboh. Gadis itu langsung terduduk, tangannya mengelap hidung yang tadi menyentuh pipi suaminya. Basah.

“Emmm.” Gumam Luhan tidak jelas, menjawab seruan istrinya. Luhan merenganggakan badannya lalu membalik posisi tubuhnya menjadi membelakangi Jiwon.

Gadis itu geram setengah mati. Kapan Luhan dapat mereduksi produksi air liurnya? Jika hal ini diteruskan, tubuh Jiwon akan mendapatkan bau permanen air liur Luhan.

Jiwon menggoyangkan tubuh Luhan agar terbangun. Tetapi, kegiatan gadis itu terhenti saat ia mendengar bunyi pret tiga kali yang bersumber dari pantat Luhan.

Jiwon ternganga tidak percaya.

Apa bunyi itu hasil dari pembuangan gas Luhan?

“Demi Tuhan, Luhan!” Teriak Jiwon, super duper lebih heboh dari sebelumnya. Kaki gadis itu dengan tidak berbelas kasih, langsung saja menendang Luhan. Tendangan tepat di pantat suaminya.

Luhan jatuh terjembab di lantai. “Ya! Han Jiwon, kau ingin aku mati muda?” Wajah Luhan terlihat sangat kaget. Rasanya baru saja ia bermimpi Jessica SNSD yang sedang menari. Namun, sekarang malah digantikan seorang gadis yang sedang melotot kesal ke arah Luhan.

Err… Gadis itu sebenarnya, terlihat jauh lebih seksi di mata Luhan. Paling tidak, kemeja yang dikenakan Jiwon berwarna putih, menerawang. Pikiran Luhan melalang buana, memikirkan ‘benda-benda’ yang tersembunyi di balik kemeja istrinya.

Pikiran kotor Luhan ternyata bergerak cepat.

Sangat cepat.

Luhan bangkit dari landasan jatuhya—lantai, tadi. Ia duduk berhadapan dengan istrinya. Kepala Luhan menuju leher Jiwon yang terlihat berkali-lipat lebih jenjang dan lebih menarik.

“Dasar pria mesum, bau!” Jiwon mendorong tubuh Luhan agar menjauhinya. Sebuah bentuk dari penolakan.

Benar, Jiwon menolak Luhan.

Karena…

 Jiwon butuh mandi.

Jiwon harus memasak.

Jiwon harus membersihkan rumah.

Jiwon harus makan.

Jiwon harus melakukan banyak hal hari ini.

Dan… apabila gadis itu membiarkan kepala Luhan—bibir Luhan mendarat di lehernya, ia yakin seharian tubuhnya akan habis dikerjai Luhan. Jiwon dan Luhan akan berakhir di ranjang sepanjang hari. Itu menyenangkan, tentu saja. Namun, perut mereka tidak akan kenyang, hanya dengan bercinta sepanjang waktu.

Luhan harus bekerja.

“Aku ditolak, baiklah. Aku bisa melanjutkan tidur.” Ucap Luhan enteng. Luhan kembali berbaring di ranjang, menenggelamkan tubuhnya di balik selimut biru muda.

Jiwon menghembuskan napas panjang melihat tingkah Luhan. Suaminya itu sudah berusia 24 tahun, tiga tahun lebih tua dari Jiwon. Namun, kelakuannya sama dengan keponakan Jiwon yang masih berusia lima tahun. Semaunya sendiri.

“Luhan, bangun. Kau harus berangkat kerja.” Kata Jiwon, sambil menarik-narik selimut.

Hanya ada gumaman aneh yang menyerupai dengkuran, sebagai jawaban dari Luhan.

“Luhan!”

Luhan mendengkur.

Oppa!”

Luhan menggoyangkan jempol kakinya.

Gege!”

Luhan mengelap air liurnya.

“Sayang!”

Panggilan terakhir dari Jiwon ternyata ampuh. Luhan menyembulkan kepalanya dari selimut, menghadap ke arah Jiwon. “Mwo baby?” Tanya Luhan dengan suara seduktif yang dibuat-buat. Tidak cocok dengan wajah menggemaskan yang dimilikinya.

 “Bangun, berangkat kerja. Sekarang.” Ucap gadis itu tegas. Jiwon duduk bersila di hadapan Luhan, tangannya disilangkan ke dada.

“Sayang, aku ini Direktur.”

“Lalu?”

“Aku boleh membolos satu atau dua kali.”

“Apa alasanmu membolos, Tuan Direktur?”

“Aku lelah, Han Jiwon. Jadi aku membolos. Apa kau tidak lelah, setelah semua hal yang kita lakukan semalam?”

Jawaban Luhan, sukses membuat pipi Jiwon memerah.“Kau bisa dipecat.” Jiwon memberikan argumen asal-asalan untuk mengalihkan perhatian Luhan dari pipinya yang memerah.

Baby, mana bisa aku dipecat. Sementara perusahaan itu milikku.” Jawab Luhan dengan suara mengantuk. Ia mulai meringsek, kembali menyembunyikan tubuhnya di dalam selimut.

“Tapi—“

“—Sudahlah Han Jiwon, jangan berisik. Aku ingin melanjutkan mimpiku melihat Jessica SNSD menari. Hal itu lebih menarik daripada bangun pagi. Aku sarankan kau juga ikut tidur sekarang.” Luhan menyelesaikan kalimat panjangnya dengan satu tarikan napas. Suaranya teredam selimut yang menyembunyikan kepalanya.

Luhan bergeming. Menunggu balasan sengit dari Jiwon.

Tapi, kenapa sepi?

Tidak ada suara balasan.

Tumben sekali seorang Han Jiwon tidak mendebatnya.

Luhan menyembulkan kepalanya, lagi.

Pria itu mendapatkan pemandangan, istrinya menggigit bibir atas. Gadis itu tampak eum… marah?

Mata Jiwon berkilat-kilat menatap Luhan.

Apa yang baru saja Luhan katakan?

Melihat Jessica menari?

Menari dengan wanita lain. Untuk apa Jessica menari di mimpi Luhan?

Pasti mereka melakukan yang tidak-tidak di mimpi Luhan. Itu sama dengan berselingkuh. Setidaknya hal itu yang bercokol di pikiran Jiwon.

Luhan berselingkuh dengan Jessica di dalam mimpi, Jiwon membuat kesimpulan.

Di dalam mimpipun Luhan masih sempat berselingkuh. Pantas saja Luhan sangat gemar tidur.

Ternyata, isi mimpi suaminya hal-hal tidak senonoh seperti itu!

Luhan si tukang selingkuh di dalam mimpi, batin Jiwon. Kepala gadis itu sudah berasap kalau diada-adakan Jiwon dapat menyemburkan api sekarang. Jiwon marah! Nyata atau mimpi, berselingkuh tetap berselingkuh dan Jiwon tidak dapat bertoleransi atas hal itu.

Pemandangan yang tidak bersahabat, membuat Luhan langsung bangun dan terduduk. Wajah kantuknya berubah cemas.

Baby, Jessica—aku…maksudku itu—“

Buk.

Penjelasan Luhan yang terbata-bata terputus oleh lemparan bantal dari Jiwon, mendarat tepat di wajah Luhan.

Sebelum Luhan dapat menemukan suaranya kembali. Jiwon sudah meninggalkan Luhan, lalu menutup pintu kamar mereka dengan keras. “Berselingkuhlah sesuka mu.” Seru Jiwon kesal.

“Demi Tuhan, Han Jiwon. Aku hanya bermimpi, tidak berselingkuh!” Luhan mengacak-acak rambutnya dengan frustasi.

Pagi Luhan kali ini lebih berantakan daripada pagi-pagi sebelumnya.

***Good Morning***

Jiwon berusaha membuat sarapan dengan tidak emosi. Memang ini lebih kekanakan daripada sikap Luhan tadi. Namun, Jiwon benar-benar cemburu.

Pikiran Jiwon terlalu jauh.

Awalnya, Luhan hanya bermimpi. Ugh, hal-hal menyangkut perselingkuhan seharusnya tidak perlu dipikirkan. Hal itu malah dimimpikan oleh Luhan.

Dasar!

Siapa tahu mereka benar-benar bertemu lalu berselingkuh?

Ah, pikiran Jiwon sudah menuju ke arah fantasi liar. Oke, Jiwon harus lebih tenang. Mengalihkan perhatian pada kegiatan lain. Memasak menjadi pilihan tepat sebagai kegiatan pengalihan. Lagi pula, Jiwon lapar dan ia harus membuat sarapan untuk Luhan. Yah, walaupun Jiwon kesal tetapi ia tidak rela Luhan pingsan kelaparan.

Tangan Jiwon penuh penekanan menggerakkan pisau, memotong sosis goreng. Mengibaratkan Luhan sebagai sosis ayam itu. “Dasar laki-laki, jelek, sok keren, dan pemalas.” Rutuk Jiwon.

Sosis yang dipotong Jiwon ada yang melompat ke dalam bak cuci piring. Kemampuan Jiwon luar biasa buruk dalam hal memasak. Tapi, gadis itu ahli dalam hal merebus air panas yang biasa digunakan Luhan untuk mandi. Merebus air juga disebut memasak, setidaknya itu pedoman Jiwon. Jiwon juga ahli menggosok punggung Luhan saat mandi.

Punggung Luhan.. putih, halus, lembut, dan…

“Kenapa aku jadi berpikiran mesum?” Gerutu Jiwon sambil menggelengkan kepala.

“Siapa yang mesum, hm?” Tanya Luhan.

Jiwon hampir memotong jarinya sendiri, sangking kagetnya. Di saat Jiwon sibuk membayangkan punggung Luhan, pria itu berjalan mendekati istrinya.

Luhan memeluk istrinya dari belakang. Ia merengkuh pinggang Jiwon dengan erat. Bibir pria berambut coklat itu, menjelajah telinga Jiwon. “Jangan marah. Aku minta maaf.” Bisik Luhan di telinga Jiwon.

Bisikan itu mirip seperti, lebih baik kita kembali ke tempat tidur sekarang. Jiwon berkidik ringan. Tangan Luhan membelai rambut panjang Jiwon lalu mengecup ringan leher Jiwon.

“Luhan hentikan.”

“Maafkan aku dulu.”

“Ti—“

Penolakan Jiwon terpotong dengan gigitan  Luhan pada lehernya. Demi apapun Jiwon bisa melayang-layang tidak bertenaga jika sudah pada tahap gigit-menggit.

“Maafkan aku, hm?” Tanya Luhan, tangannya bergrilya masuk ke dalam kemeja putih yang dipakai Jiwon. Mengelus perut Jiwon. Semakin naik dan naik. Oh my god.

Ayolah, Han Jiwon jangan seperti orang tolol. Kumpulkan kesadaranmu. Jiwon terus saja mengingatkan dirinya.

“Baiklah, baiklah!” Jawab Jiwon dengan nada menyerah. Jika sudah beranjak pada hal-hal yang menjerumus pada skinship Jiwon kalah.

Mendengar sahutan Jiwon, Luhan melepaskan tubuh istrinya. Pria itu tertawa geli, melihat reaksi Jiwon. Sudah ratusan kali Jiwon dan Luhan melakukan kegiatan yang lebih dari itu. Namun, reaksi Jiwon yang kaku seperti baru saja masuk kulkas terasa menggelikan.

“Jangan tertawa tidak lucu. Cepat mandi, kau bau!” Jiwon berbalik mengomeli Luhan dengan pisau yang diacung-acungkan ke arah wajah suaminya.

Luhan tertawa semakin keras, ekspresi Jiwon sekarag mirip sekali dengan trenggiling yang sedang memarahi suaminya. Sebenarnya, Luhan tidak pernah melihat wajah trenggiling. Tapi, perumpamaan trenggiling terdengar pas untuk Jiwon.

“Dari tadi kau menyuruh ku mandi, Han Jiwon. Apa kau tidak punya niat untuk mandi bersama ku?” Tanya Luhan jahil, tetapi pria itu segera berlari ke arah kamar mandi setelahnya. Luhan cukup pintar untuk cepat-cepat kabur, melihat tangan Jiwon sudah bersiap untuk melempar Luhan dengan sosis.

AH, SIAL,” terdengar suara umpatan berisik dari Luhan. Pria itu terpeleset di kamar mandi. Setelah itu terdengar teriakan Jiwon dari dapur, “YA LUHAN, MEMANGNYA USIA MU BERAPA? MASIH SAJA TERPLESET DI KAMAR MANDI. JANGAN SAMPAI JATUH DAN MERUSAK LANTAI KAMAR MANDI.”

Astaga, berisik sekali! Mereka berdua itu, seharusnya tinggal di hutan. Tetangga apartemen Luhan dan Jiwon pasti sangat terganggu, mendengar keributan mereka setiap pagi.

Pagi hari versi Luhan dan Jiwon tidak ada ucapan dan kecupan selamat pagi. Sebagai gantinya ada air liur Luhan, rasa cemburu Jiwon, pikiran mesum Luhan, sosis ayam gosong Jiwon, dan umpatan Luhan karena terpeleset. Melelahkan sekali.

“Jiwon, ambilkan handuk untuk ku.” Suara Luhan terdengar dari kamar mandi.

Jiwon mengerutkan alisnya, “Kebiasaan, kapan kau tidak lupa membawa handuk ke kamar mandi?” Gadis itu, menghentikan kegiatannya menyiapkan piring untuk sarapan. Jiwon mengeluarkan gerutuan sembari mengambilkan handuk untuk Luhan.

Tanpa basa-basi gadis itu membuka pintu kamar mandi. Jangan berpikiran aneh-aneh terlebih dahulu. Luhan sudah memakai pakaiannya, kaos merah dan celana pendek coklat. Luhan biasa menggunakan dua handuk pada saat mandi. Handuk pertama untuk mengeringkan tubuh. Handuk yang kedua untuk mengeringkan rambut. Namun, pria tampan itu selalu lupa membawa handuk yang kedua.

“Luhan! Itu sikat gigi ku. Pakai sikat gigi mu sendiri.” Sembur Jiwon, ketika melihat Luhan menggosok gigi menggunakan sikat gigi warna merah.

Luhan menghentikan kegiatannya menggosok gigi sambil terbatuk-batuk. Kemudian, Luhan cepat-cepat berkumur. Busa pasta giginya hampir saja tertelan. “Kau mengagetkanku, Han Jiwon.” Ucap Luhan tersengal.

Jiwon segera merampas sikat giginya dari tangan Luhan, “Ini sama saja bertukar kuman. Kemana sikat gigimu?”

Luhan menjawab dengan gerakan nonverbal kepalanya. Sikat gigi Luhan masuk ke kloset. “Tidak sengaja terjatuh.”Jawab Luhan tidak tahu diri, pria itu mengeringkan rambutnya dengan handuk yang baru saja dibawa Jiwon.

Jiwon memutar bola matanya. Sikat gigi masuk ke kloset. Kenapa bisa sampai masuk kloset? Apa Luhan menggosok gigi sambil kayang di atas kloset?

“Kau jorok sekali. Jangan pakai sikat gigi ku.”

“Memangnya kenapa?”

“Itu sama saja bertukar kuman, suamiku.”

“Lalu?”

“Aku bisa terkena penyakit yang sama dengan mu.” Ucapa Jiwon kesal.

“Padahal semalam kita bertukar segala hal, mulai keringat, air liur, sentuhan, dan apa kau lupa ciuman kita itu…”Luhan menggantungkan kalimatnya.

Benar-benar aku harus bersabar menghadapi pria ini, batin Jiwon.

“Dan kau sekarang takut terkena kuman dariku yang benar saja, istriku. Jangan-jangan kau lupa ingatan jika semalam kau memintaku untuk—” Ucapan Luhan terpotong karena serangan tiba-tiba dari Jiwon.

Jiwon berjinjit menutup mulut Luhan, tapi pria itu menghindar. Bukannya mendapat keuntungan menghajar Luhan, tubuh Jiwon malahtergelincir licinnya lantai kamar mandi. Luhan dengan sigap menarik Jiwon ke pelukannya agar Jiwon tidak terjatuh. Mereka berdua hampir saja cidera kalau saja di belakang Luhan tidak ada dinding. Jiwon tidak sengaja menekan tubuh Luhan ke dinding.

Tidak tahu siapa yang menyalakan, shower mengalir membasahi Jiwon beserta kemeja putihnya.

Lekukan tubuh Jiwon terbentuk dengan sempurna.

Pipi Jiwon bersemu merah. Merasakan tubuh mereka yang melekat erat.

Jiwon jadi terlalu malu untuk menggerakkan tubuhnya. Ia menengadah untuk menatap Luhan. Rambut dan tubuh Luhan juga terkena air. Melihat rambut Luhan yang basah seperti itu…. Jantung Jiwon rasanya ingin melompat keluar.

Rambut basah Luhan…

Tubuh Luhan yang basah…

Bulu roma Jiwon berdiri. Apa Luhan mirip hantu? Kenapa bulu roma Jiwon berdiri saat ia berpikir macam-macam tentang suaminya?

Jiwon menatap mata Luhan. Bibir pria itu tersenyum mengejek. Ia mengeratkan pelukannya pada tubuh Jiwon.

“Luhan basah,” bisik Jiwon.

“Memangnya kenapa kalau basah?”

“Dingin.”

“Jika kau kedinginan. Apa yang harus aku lakukan untukmu?”

“Luhan.”

“Hm?”

“Matikan showernya bodoh.” Jiwon membentak Luhan. Sebenarnya saat ini moment yang romantis, tetapi ayolah mereka berdua bisa terkena flu. Sangat tidak lucu, jika Jiwon harus membolos kelas karena terkena flu. Apalagi penyakit itu datang setelah berpelukan di bawah shower dengan suaminya.

Luhan melepaskan pelukan mereka sambil cemberut. Paling tidak seharusnya Jiwon tidak perlu membentak atau marah-marah. Paling tidak Jiwon seharusnya paham sinyal-sinyal Luhan tadi. Luhan tahu, Jiwon juga ingin ‘hal itu’.  Tapi, Jiwon terlalu gengsi atau apalah.

Dasar wanita.

***Good Morning***

Jiwon merapikan dasi yang dikenakan Luhan. Pria itu tampak sangat menarik dengan pakaian kasual. “Tampan sekali, Luhan ku.” Ucap Jiwon sambil menepuk-nepuk lembut pipi Luhan.

“Aku memang sudah tampan sejak lahir.” Balas Luhan, menarik pinggang Jiwon mendekat. Pria itu memenjarakan Jiwon ke dalam pelukannya. Hidung Luhan mengendus rambut Jiwon.

“Geli Luhan jangan mengendus-ngendus seperti ini.”

“Sayang, apa kau sudah mandi?”

“Sudah, kenapa?”

 “Apa kau sudah mencuci rambut mu?”

“Sudah, kenapa?”

 “Aku rasa—”

“—Kenapa, Luhan?”

“Rambut mu, bau air liur ku.” Luhan berkata pelan. Ia mengendorkan pelukannya pada Jiwon. Pria itu menerka-nerka ekspresi wajah Jiwon. Siapa tahu gadis itu tiba-tiba melempar guci yang sekarang berada di samping mereka.

Jiwon tertawa kecil, “Memangnya kenapa kalau bau air liurmu? Kan aku Jiwon-mu dan kau Luhan-ku.”

“Gadis ini benar-benar.” Kata Luhan  sambil bernapas lega. Ia menarik tengkuk Jiwon lalu mengecup bibir istrinya, lama. Memberikan setrum yang menyengat di setiap lumatan Luhan. Seperti biasa, kecupan Luhan selalu membuat Jiwon kalang kabut.

Luhan menjauhkan bibir mereka. “Dari tadi kau menyuruhku segera berangkat bekerja, tapi sekarang malah mencium ku dan tidak mau melepaskan ku. Aku boleh membolos ya? Sekali saja.”

Jiwon mendorong dada Luhan yang menempel erat dengan tubuhnya. “Tidak boleh. Cepat sana berangkat!” Tangan Jiwon menyeret Luhan menuju pintu apartemen.

“Jiwon—“

“—Tidak suamiku, kau harus berangkat bekerja dan menghasilkan banyak uang untuk anak kita nanti.” Kata Jiwon dengan nada dramatis.

“Astaga, istri ku mereka bahkan belum ada. Bagaimana jika kita fokus pada pembuatan anak? Lagi pula, walaupun aku di rumah kita tidak akan jatuh miskin—YA! Sakit Jiwon tunggu jangan menarik ku keluar, Jiwon tunggu.”

Jiwon menarik Luhan keluar dari apartemen. Mereka tarik menarik, mirip sekali anak sekolah dasar. Melelahkan.

“Tidak ada pembuatan anak untuk hari ini. Cepat berangkat, sekarang!” Seruan Jiwon diakhiri dengan pintu yang menutup tepat di muka Luhan.

Jiwon menghembuskan napas, lelah.

Bagaimana tidak lelah?

Sudah hampir satu tahun usia pernikahannya dengan Luhan. Sudah enam bulan juga paginya yang sepi, berubah menjadi heboh. Ada-ada saja, hal-hal yang dilakukan Luhan. Memang semua itu membuat Jiwon lelah. Namun, lelah yang Jiwon rasakan justru menjadi bahan bakar  untuk meningkatkan rasa cintanya pada Luhan.

Luhan milik Jiwon.

Jiwon milik Luhan.

Luhan dan Jiwon punya cara sendiri untuk menikmati pagi mereka.

Luhan tidak manis di pagi hari.

Luhan tidak perlu menjadi manis di pagi hari karena tanpa itupun, Jiwon sudah jatuh cinta pada Luhan.

Hal itu cukup, sangat cukup untuk Jiwon. Asal ada Luhan kapanpun terlihat menarik. Pagi, siang, dan malam, Jiwon akan baik-baik saja asal ada Luhan-nya. Luhan miliknya.

Jiwon tertawa saat menemukan setangkai mawar putih di atas meja makan. Terdapat notes yang terselip di tangkai mawar putih itu.

Kenapa tidak bilang pada ku kalau kau ingin diberi mawar putih setiap pagi?

PS: Aku mengetahuinya dari Sehun.

Kapan Luhan meletakkan kertas-kertas itu dan bunga mawar?

Saat Jiwon mengambil cangkir yang tadi digunakan Luhan untuk minum kopi, gadis itu menemukan notes lain. Notes terletak di bawah cangkir.

Good morning, Han Jiwon. Aku mencintai mu. Terimakasih kopinya. —Luhan.

“Aku lebih mencintaimu Luhan.” Jawab Jiwon pada kertas kecil itu.

*** ***

 

95 thoughts on “Good Morning

  1. sena_kim says:

    ya ampun luhan tolong di kondisikan air liurnya…
    kan kasihan jiwon masak harus keramas tiap pagi…
    tapi lucu jga kak jangan lupa kak bikin lagi kekeke
    ditunggu kak

  2. mlw85 says:

    luhan lebih idaman ternyata dr pada kyungsoo, wkwkwk mian mz kyungsoo luhan lebih seru wkwk
    suka banget kak genre ke gini,
    sebenernya semua suka siii
    wkwkwk

  3. delja says:

    awalnya agak jiji gmn gt ya basah karna air liur:” tapi air liur org ganteng mah rasa strawberry xD

    aduh luhannnnnnnn mesum

  4. rassi says:

    Wkwk ngakak ya sama tingkah mereka
    Mereka punya cara sendiri di pagi hari kaya gitu yang tentunya lucu dan ngga biasa hahaha
    Akhirnya juga sweet banget kyaaa

  5. hsnafiah says:

    sumpah nggak bayangin luhan yang flower boy karakternya jadi kek gini, wkwkw. tapi suka, they’re so sweet…. ffnya kok bagus semua sih:((

  6. Minikie says:

    Ngakak pas bagian luhan yg kentut XD kan jd bayangin kalo luhan kentut terus ketangkep kamera gimana ekspresinya XD /imajinasi liar/

Leave a comment