Outages: The Wedding

outages-2

Credit Poster : ALKINDI DESIGN

Pev: New Life – We Walk

-oOo-

“The answer is you. My answer is you. I showed you my everything. I’ve never felt like this before, like my breath will stop. My head is filled with thoughts of you.”

.

.

.

Pikiran Sehun benar-benar sedang kacau. Kentara sekali jika pria itu menyesali perbuatannya. Membuat Nara jatuh cinta—jatuh cinta yang tak sekedar akting—merupakan kesalahan fatal. Terlalu awal baginya untuk membiarkan seorang gadis merasuki kehidupannya, apalagi sempat-sempatnya Sehun memberikan ijin agar Nara memporak-porandakan perasaan. Perilaku gadis itu yang memadankan diri layaknya buku terbuka, membuat Sehun terlampau sanggup menebak. Kejujuran dan kesederhanaan yang ditonjolkan gadisnya justru menikam Sehun dengan perasaan tak tega. Naluri melindungi tergelontor begitu saja, ketika menemukan Nara berduka dan tersakiti. Akan timbul perasaan cemas yang tak perlu, jika Nara menghadapi mara bahaya, walaupun Sehun sadar apabila gadisnya mampu mengatasi. Perhatian Sehun telah dirampas sepenuhnya dalam kurun waktu kurang dari satu bulan. Alurnya terlalu cepat, pria itu sadar tentang itu. Tetapi, pengalaman Sehun belum mumpuni untuk memahami… Kenapa pikiran dan tubuhnya bertekuk lutut pada Nara?

Menurutmu, apakah Sehun jatuh cinta?

Tidak. Terlalu dini bagi Sehun agar rela mengakui jika ia jatuh cinta pada Nara. Gadis itu hanya sesuatu yang mulai menyamankan kehidupannya. Sehun tak ingin menyebutnya cinta. Ia mampu hidup tanpa Nara. Sehun akan baik-baik saja, apabila gadis itu lenyap. Nara bukanlah hal yang memiliki makna istimewa, gadis itu serupa dengan makhluk sejenis yang berkeliaran di luar sana. Namun, cicin yang tersemat di jari manis kanannya menjadikan pengingat, bahwa gadis itu berbeda. Sehun terikat oleh Nara. Terikat secara simbolis. Hm.

Tidak.

Pria itu belum menikahinya. Tanda kepemilikan ini Sehun berikan pada gadis itu, agar Nara gembira. Apa saja asal Nara bahagia, Sehun rela melakukannya. Akan tetapi, kenyataan atas kesenangan Nara tak lantas menjadikan Sehun mencintai gadis itu. Terdapat simbiosis yang saling menguntungkan di antara keduanya.

Nara bahagia, Sehun juga. Sederhana. Tanpa embel-embel cinta.

Kata cinta terkesan rumit, membuat kepala Sehun pening. Pria itu muak dengan berbagai macam definisi cinta. Ia bukan tipe manusia melankolis yang percaya pada perasaan. Kesempatan tak hanya datang ketika rasa dilibatkan, logika lebih berperan dalam pengambilan keputusan.

“Sehun, akhir-akhir ini kau sering melamun.” Suara lembut itu menegur panca indra. Mencabut Sehun yang sedang berselisih dengan dirinya sendiri melalui lamunan.

Sehun tengah termenung memperhatikan jendela penjahit gaun. Ia sedang meratapi tubuhnya yang beberapa kali menyiakan logika dan lebih memilih perasaan. Contohnya sekarang, bibirnya bergerak membentuk lengkungan. Sehun membalas cebikan Nara dengan senyum rupawan. Netra itu segera mencari fokus dunianya, mengamati keindahan Nara yang sedang bersolek.

“Aku tidak cocok pakai gaun. Rasanya, aku ingin kabur dari pesta pernikahan bibi.” Nara kembali mengeluh. Gadis itu menyusun langkah menuju Sehun yang terduduk di pojok ruangan. Nara sibuk mencoba gaun yang akan dipakainya di pesta pernikahan Krystal dan Luhan. Perlu waktu yang lama agar gadis itu dapat memutuskan gaun yang tepat dengan lekuknya. Sehun sering kali melayangkan protes terhadap macam-macam gaun yang dikenakan Nara, terlalu pendek dan terlalu terbuka—suruh saja Nara memakai kain yang membungkus seluruh kulitnya.

Nara berkacak pinggan di hadapan Sehun. Gaun selutut bewarna pastel itu nampak melekat sempurna di raga Nara. “Bagaiamana menurutmu?” tanya Nara, tak sabar.

Sehun berdiri, sekilas berpikir. “Kau cantik,” ujarnya. “Terlalu pendek, tapi sudahlah pesta pernikahannya lusa. Kita tak punya banyak waktu.” Lanjut Sehun sembari terkekeh, mengamati ekspresi tidak terima dari Nara.

“Aku sempat berpikir kalau kau tetap protes, lebih baik aku memakai tuksedo saja.” Kata gadis itu, lalu berbalik.

Sehun tertawa pelan, mengangguk setuju. Sedikit geli memutar kembali argumen mengenai potongan gaun yang akan dikenakan Nara. Pria itu hanya tak rela, jika gadisnya mengumbar bagian tersembunyi dalam tubuh pada orang lain. Nara terlalu murni. Sehun tak ingin ada orang yang lancang merusak kemurnian itu, bahkan dirinya tidak berani menyentuhnya.

“Sebentar, aku ganti baju dulu, kemudian kita pulang.” Nara berujar sebelum memasuki kamar ganti, mengabaikan tawa menyindir dari pria itu.

Sehun tak menunggu lama untuk mendapati Nara kembali mengenakan kaos dan jins. Nara menguncir surai cokelatnya secara berantakan, membuat Sehun semakin berpikir yang tidak-tidak. Gadis itu mengapit lengan Sehun ketika melakukan proses pembayaran. Ia tak henti-hentinya mengoceh soal betapa Krystal jadi pemarah akhir-akhir ini.

“Aku hanya meminta tolong pada bibi untuk mematikan kompor tapi dia malah mengomel soal kebakaran…” Kericuhan suara Nara mengisi mobil yang mereka tumpangi.

Sehun tak menyela. Ia mengapresiasi segala bentuk keramaian yang berasal dari suara nyaring Nara. Hidup pria itu terlampau sepi dan muram, pengalaman baru yang diberikan Nara pada Sehun membuatnya lantas bungkam kemudian menikmati.

“Aku penasaran. Waktu aku nanti menyiapkan pernikahan, apakah aku akan berubah menjadi monster seperti bibi?” Celetukan Nara diungkapkan sembari mengigit bibir. Lamat-lamat gadis itu membahas persoalan pernikahan. Topik yang beberapa hari ini menjadi pemanas hubungan, setelah kejadian kecupan pertama mereka.

“Aku harap kau tidak berubah menjadi monster. Aku tak ingin menikahi monster.” Sehun menanggapi dengan nada biasa, membuat Nara bernapas lega.

“Aku tidak sabar menikah. Tidak sabar mencoba banyak hal.” Ungkap Nara, ia merasakan kendaraan yang disetir Sehun berhenti di lahan parkir apartemen bibinya.

Sehun membukakan pintu untuk Nara. “Tentu saja, aku juga.” Balas pria itu, sembari membantu membawa kantong belanja gadisnya. “Tapi, kau terlalu muda untuk menikah,” kata Sehun.

Nara memposisikan dirinya di samping Sehun, mereka memasuki lift. “Sekarang banyak gadis yang menikah muda,” ujar Nara. Netra bulat itu menatap Sehun sekilas, sembari menunggu tanggapan dari prianya. Ia mengamati penampilan Sehun yang rupawan dengan setelan kemeja merah dan celana kain hitam itu. Sempat-sempatnya gadis itu merutuki segala respon tubuh yang berlebihan, ketika menelusuri paras Sehun.

“Hal itu tidak menjadikanku, berkeinginan melakukan hal yang serupa denganmu.” Cecar Sehun, sepasang kakinya keluar dari lift menuju pintu apartemen Krystal.

Nara memasukkan kode pintu, lambat. Tak ingin kehilangan waktu kebersamaannya dengan Sehun. “Kau tau bersamamu, aku tidak kehilangan apa-apa justru seperti mendapatkan lotre.” Nara berujar ceria, hal itu membuat Sehun terkekeh.

“Aku tahu, tapi aku tidak ingin membuatmu kehilangan kegembiraan menjadi gadis muda. Banyak hal yang akan kau lewatkan jika kita menikah. Kebebasan, salah satunya.” Sehun berusaha berargumen. Pria itu meletakkan kantong belanja di nakas ruang tamu. Tangan Sehun menarik pinggang Nara, memeluk gadis itu dari belakang.

Jantung Nara hampir jatuh dari tempatnya. Ia terbuai dengan wewangian yang diproduksi oleh tubuh Sehun. Aroma yang menjadikan dirinya kelimpungan. Lupa diri hingga tak sadar apabila kakinya tengah berpijak di lantai porselin. “Aku milikmu. Aku tak perlu kebebasan. Penjarakan aku, semamumu.” Kata gadis itu, mulai merayu. Nara membalikkan tubuh. Ia mendapati raut Sehun yang serius. Tampak mengeras dan kaku.

“Gadis bodoh, mana bisa kau menyerahkan dirimu pada pria yang tak mencintaimu. Pria yang tidak dapat jatuh cinta.” Sehun berujar.

Nara menyentuh rahang tegas milik pria itu. Mencoba menelusuri aspek kepedihan kasat mata yang menutupi perasaan Sehun. Hal tragis apa yang membuat prianya tak mempercayai akan kasih sayang? Siapa yang tega merenggut ketulusan cinta dari pria ini?

“Ijinkan aku, Oh Sehun. Aku memohon padamu. Perbolehkan aku untuk mencintaimu. Kau harus merasakan kesungguhanku, aku rela melakukan apa saja untukmu.” Nara meminta, rajukan itu berusaha menelan segala ego yang sedang menyelubungi prianya. Memoles lubang-lubang kepahitan menjadi sempurna kembali.

Sehun mengecup sudut bibir Nara. “Aku suka saat kau berada di dekatku, Nara. Mungkin ini akan berhasil, namun butuh waktu lama. Kau harus memiliki kesabaran lebih.”

Nara mengangguk, perlahan ia membalas kecupan Sehun. “Aku bersumpah, tubuhku adalah milikmu dan kesabaranku tidak akan ada habisnya.” Gadis itu berjanji, menutup perbincangan mereka dengan kail yang berkaitan. “Karena aku mencintaimu,” bisik Nara di tengah lembutnya kecupan itu.

.

.

.

 

Kain-kain putih berserakan dilimpahi mawar putih yang sengaja dipergunakan sebagai aroma semerbak. Gereja itu menjadi saksi khidmatnya upacara pemberkatan pernikahan. Menampilkan suasana haru serta tenang, denting piano sengaja menjadi latar khusyuknya penobatan suami dan istri. Pertalian pasangan hidup, meraih atensi Nara. Gadis itu mencermati kegugupan bibinya yang sedang bersanding di altar dengan Luhan. Mungkin Nara telah sampai pada khayalan paling tinggi ketika Sehun tiba berdiri di sisinya. Pria itu segera meraih pinggang gadisnya, mengungkung Nara dengan protektif.

“Sangat tidak sabar bertemu ibumu,” bisik Sehun tepat di telinga Nara.

Nara menyelipkan surai yang tak ikut tergulung. “Jessica akan sangat heboh. Aku sengaja menghindar darinya.” Nara membalas.

Tak disangka-sangka tubuh Sehun menegang, ketika satu nama itu terucap dari bibir Nara. “Jessica?” tanya Sehun lebih pada dirinya sendiri.

Nara merasakan perubahan paras pria itu. Ia menatap Sehun jauh lebih lama daripada yang diperlukan. “Kenapa? Kau pernah punya mantan kekasih yang namanya Jessica?” decak gadis itu, kesal.

Sehun mencium puncak kepala Nara. Kendati membalas, ia hanya mengeratkan pelukan pada pinggang Nara. Seakan-akan enggan membahas terlalu jauh topik itu. Merasa diabaikan, Nara mengikuti arah netra Sehun yang melemparkan tatapannya pada Luhan dan Krytal.

“Sehun…” Perasaan Nara mulai jengah mendapati aksi diam Sehun. “Aku tidak bermaksud menyinggungmu.”

“Mereka terlihat sangat bahagia.” Ucap Sehun, mengindahkan interupsi Nara.

Gadis itu menautkan alis. “Nyaris membuatku iri.” Gumam Nara, mengikuti peralihan pembahasan. “Bibi tampak sangat cantik,” lanjutnya.

“Tidak perlu iri, young lady. Kau ratusan kali lebih rupawan daripada semua gadis,” ungkap Sehun, nada jenaka menghiasi suaranya.

Nara merasa lebih santai. Suasana hati Sehun cerah kembali. Ia lega tak memicu perkelahian, jujur saja melakukan perdebatan dengan Sehun hanya membuatnya patah hati. Menyakiti Sehun merupakan hal di urutan terakhir yang sudi Nara lakukan. Iya, Nara telah tersesat terlalu jauh.

Oh, bagaimana Nara bisa jatuh hingga terguling-guling gara-gara pesona pria ini? Sehingga, melakukan apa saja demi meredam amarahnya?

“Tuan Perayu, jujur saja kau amat sangat tampan hari ini. Kau rupawan setiap waktu, aku mencintaimu.” Seloroh Nara. Gadis itu sebenarnya tidak berani berharap Sehun akan membalas segala runtuhan kalimat cinta. Menemukan Sehun hanya diam serta mau mendengarkan rayuannya saja, membuat Nara kepalang bahagia.

Sehun tersenyum, “Terima kasih.”

Nara ikut menarik ujung bibir. Mengakhiri percakapan mereka.

Nara menghabiskan waktu berikutnya dengan memanjakan matanya, berpetualang mengitari penjuru ruangan. Sebenernya, tak perlu mencari objek untuk kesenangan, jika di samping Nara ada penjelmaan tubuh proposional. Sosok sempurna.

Gadis itu hendak menganggumi detail yang Sehun kenakan hari ini, sebenarnya tubuh prianya selalu pas terbalut segala model pakaian. Tuksedo hitam yang dikenakan Sehun menjadikan titik lemah gadis itu. Keasyikan tamasya mata Nara terhadap Sehun, membuat gadis itu melewatkan runtutan ritual pernikahan. Bahkan ia tak seberapa sadar ketika Sehun, menariknya ke arah mempelai.

“Lihatlah gadis kecil ini. Apa yang kau lakukan padanya, Oh Sehun? Dia sangat menarik.” Seloroh Krystal, tiara indah mempercantik raut wanita bermarga Jung itu. Krystal sengaja mengubah warna rambutnya menjadi hitam, berusaha membaur dengan keluarga Luhan. Keluarga besar itu memiliki ikatan yang kuat mengenai tata krama. Nara merasa bahwa bibinya yang biasa hidup amberadul perlu menyusuaikan dengan intensif.

“Dia seperti kehilangan jiwa,” ejek Luhan yang terkekeh, menyadari keponakannya sedang melamun.

Sehun ikut tertawa. “Sayang, apa kau tak ingin mengucapkan selamat pada paman dan bibimu?” tanya Sehun.

Nara memberengut. Ia menerima begitu saja celetukan dari ketiga manusia terpenting dalam hidupnya. “Selamat semoga kalian bahagia,” ujar Nara singkat, sembari tersenyum manis. “Kalian harus menemui tamu yang lain, bukan? Bibi bolehkah aku mencopot gaun ini kemudian mengganti dengan jins?” Gadis itu mengusir sekaligus merengek.

Krystal mendengus. “Tidak, belajarlah menjadi wanita, Jung Nara,” tegur Krystal kemudian mengikuti Luhan yang beranjak menemui tamu yang lain.

“Kalau kau merengek padaku, jelas jawabannya tidak. Aku suka melihatmu dengan gaun ini. Manis seperti ice cream cake.” Sehun memperingatkan.

“Hebat, aku mirip makanan!” Seru Nara. “Demi Tuhan, itu Mom!” Seruan kali ini lebih heboh dari yang pertama.

Sehun mengikuti arah telunjuk Nara yang menandakan sesosok wanita kira-kira berusia akhir 40 tahunan. Wanita itu mengenakan gaun ketat berwarna merah, surai coklat—menyerupai milik Nara—yang terurai, dan langkahnya tampak angkuh. Bisa dikatakan bahwa wanita itu ialah Nara versi dewasa.

Nara hendak membawa pergi Sehun, namun mengurungkan niat saat gertakan suara yang ia kenal mulai berdengung. “Jung Nara, apa kau tidak merindukan, Mom?” tanya Ibu Nara.

Nara tersenyum kecut, menyambut pelukan ibunya. “Mom, aku merindukanmu.” Gadis itu berujar kaku.

Sayup-sayup Nara mendengar tawa renyah Sehun. Mungkin pria itu terlewat menikmati ekspresi canggung Nara atau raut ketakutan gadis itu. Nara takut diseret kembali ke London. Dulu Nara enggan kembali ke kota itu akibat kenangan mantan kekasih yang kelewat brengsek. Jika, sekarang ia menolak pulang diakibatkan perasaannya yang sudah dibawa pergi Sehun. Apa jadinya Nara tanpa Sehun? Bisa-bisa gadis itu menyerupai sesonggok daging yang dapat bergerak. Ada raga, tetapi jiwanya layu.

“Senang bertemu dengan Anda, Mrs. Jung.” Sehun meminta atensi dari anak dan ibu yang sedang melepas rindu. Pria itu menampilkan senyuman lembut.

Nara melepaskan pelukan erat ibunya. Gadis itu meraih jemari Sehun, berusaha mencari perlindungan. Sehun dianggap batin Nara sebagai tameng baja yang bisa menariknya jauh-jauh dari sang Ibu. Membuatnya aman.

Jessica tertegun menatap rotasi perpindahan putrinya kepada Sehun. Wanita itu membalas senyum Sehun, ramah tapi mengancam. Netranya sibuk menelusuri. “Senang bertemu denganmu. Boleh saya menebak, kau pasti Oh Sehun?” tanya Jessica langsung, tepat sasaran. “Jangan terlalu formal, panggil saja saya Jessica.”

“Saya rasa Krystal bercerita banyak, mengenai saya pada Anda,” kata Sehun.

Raut Jessica berubah menjadi santai. “Tentu saja, semua tentang gadis kecil ini menjadi konsumsi publik. Apalagi setelah ia patah hati.”

Sehun mengangguk paham, “Saya senang mengetahui, jika banyak orang yang peduli pada Nara. Cara Nara menanggapi dunia luar terlalu ceroboh.” Lanjut Sehun.

Jessica menimpali dengan raut memahami, “Tentu saja, saya kira diri ini saja yang acap kali protes dengan sikap kekanakan gadis ini.” Ujar Jessica. “Apalagi, mengenai percintaan. Nara tidak banyak beruntung, sering kali merugi.” Wanita itu menutup percakapan sembari terkekeh.

“Saya pastikan Nara tak mengalami defisit apabila bersama saya.” Sehun meyakinkan.

“Bisa tidak kalian berhenti mengungkit kisah cintaku?” tanya Nara menggertakkan gigi.

Belum sempat bibir Jessica menanggapi kekesalan putrinya, wanita itu dipanggil oleh Krystal. “Oh baiklah, honey. Nikmati pestanya, Mom akan membantu Krystal menjamu tamu.” Jessica mengakhiri perbincangan basa-basi, sebelum ia pergi masih sempat mengecup pipi anak gadisnya. “Aku bahagia melihatnya hidup kembali, Oh Sehun. Kau hebat. Tolong jaga putriku.” Lanjut Jessica. Wanita itu beranjak menjauh dari jangkauan Sehun serta Nara.

Sehun megusap surai Nara, “Keluarga yang menarik,” ujarnya.

Nara memutar bola mata. “Mom berubah menjadi sangat protektif sejak bercerai dengan Dad.” Keluh gadis itu.

“Kau harta yang paling berharga baginya. Wajar jika ia menjagamu dengan sengenap kemampuan yang ia miliki,” kata Sehun.

Nara mendesah pasrah. Hm, kenyataannya memang seperti itu. Ia tak dapat membayangkan jika dirinya kehilangan ibunya atau sebaliknya. Nara tumbuh dewasa tanpa sosok seorang ayah. Gadis itu hanya memiliki ibu di sepanjang hidupnya. Tak banyak harapan yang ia letakkan pada sosok Jessica, jelas sekali wanita itu berusaha memberikan aksi terbaik untuk dirinya.

Ekspresi Nara berubah kalut, mengenang berbagai sikap mengecewakan yang telah ia perbuat. Ibunya tak pernah menuntut banyak atas segala kecerobohan dan kelemahan Nara, berkebalikan dengan Nara yang menyikapi sikap protektif sang Ibu sebagai sesuatu yang memalukan.

“Aku sangat menyanyangi, Mom.” Gumam Nara, pelan. Sehun dapat mendengar sebersit pengakuan gadis itu.

Sehun mengelus surai gadisnya. Kelembutan deretan-deretan coklat yang mirip tumpukan jemari itu menjadi favorit Sehun. “Aku tahu itu, gadisku. Gadis penyayang sepertimu, memiliki hati yang baik.” Sehun menanggapi Nara. Gadis itu tersenyum, terbuai akan ungkapan prianya.

Ada hening yang lama di antara keduanya, hingga Nara mulai bersuara. “Di sini terlalu ramai,” keluh Nara pada akhirnya.

Sehun menyetujui dengan anggukan kepala.

“Aku ingin memberikan waktu istirahat untuk kakiku. Sepatu berhak tinggi ini menyikasa.” Nara mulai mengadu, lalu menunjuk kakinya.

“Kita cari tempat yang nyaman,” Sehun memutuskan.

Pernikahan Krystal dan Luhan mengundang sorotan media. Tentu saja, salah satu pengusaha muda yang berulang kali tampil pada acara bincang-bincang sukses bisnis, menyita perhatian. Keramaian itu membuat Nara tidak nyaman, pada akhirnya Sehun membawa gadisnya ke pelataran belakang. Bersembunyi dari hingar bingar kemeriahan yang diciptakan kedua mempelai. Sehun duduk di kursi batu dekat dengan pohon. Sementara Nara, terduduk di kursi batu lain di sebelah Sehun.

Mereka berdua memandangi langit yang mulai menggelap. Semburat merah disebabkan matahari tenggelam, terganti kanvas lain. Lebih gulita. Bermandikan bintang yang berkelip, redup.

“Kau sudah bertemu ibuku.” Nara memulai percakapan.

Sehun menjawab dengan anggukan.

Gadis itu menyenderkan kepalanya pada bahu Sehun. “Aku ingin bertemu ibumu,” ucap Nara.

“Kau tak akan menyukai ibuku.” Sehun membalas, ada nada pahit dalam suaranya.

Nara menatap rahang Sehun yang tegas. Pikiran Nara memainkan harmoni pelan, membawanya terbuai dalam keindahan paras pria itu. “Barang kali kau salah.” Tolak Nara.

Sehun menghembuskan napas berat. “Aku berani taruhan, kau tak akan menyukai ibuku.” Pria itu mengambil jeda sejenak, “karena aku tak menyukainya.”

“Siapa tahu selera kita berbeda? Bisa saja, aku menyukai apa yang kau benci.” Nara belum menyerah.

“Ibuku seorang pembunuh,” Sehun mengakui kegelisahannya. “Ia membunuh ayahku tepat di depan mataku.” Lanjut pria itu.

Nara menegakkan tubuhnya. Mencoba untuk mencari jejak lelucon yang baru saja diungkapkan Sehun. Ia memindai ekspresi muram pria itu. Seakan kebahagiaan tak pernah menyentuh takdir Sehun. Bentuk penderitaan tersurat jelas dalam gerakan nonverbal.

“Aku adalah anak dari seorang pembunuh dan juga anak dari korban pembunuhan. Mengesankan.” Sehun belum puas mendeklarasikan jati dirinya. “Tidak banyak yang tahu mengenai ini, Jung Nara. Masyarakat hanya paham jika aku adalah seorang yatim piatu yang kebetulan bernasib baik.”

Nara tersentak, “Sehun…” panggil gadis itu.

“Mereka tak pernah paham, apa saja yang harus aku lalui untuk mencapai posisiku saat ini. Penderitaan seperti apa yang harus kuterima. Kesialan yang tak pernah mereka bayangkan,” ucap Sehun sembari menengadahkan kepala.

Jemari Nara berusaha merangkum raut Sehun. “Kau tak lagi sendiri, Oh Sehun. Aku di sini, menemanimu.” Air matanya mulai berjatuhan, mendalami kesengsaraan yang dilalui kasihnya.

Sehun menghapus air mata gadisnya, perlahan-lahan ia mengecup kelopak mata Nara. “Air mata ini, sungguh tidak pantas mengalir karena diriku,” cerca Sehun.

“Aku memiliki ayah dan ibu baru. Mereka menjadikan diriku sebagai anak sulung. Memberikan apa yang tak pernah kudapatkan sebelumnya. Keluarga Choi menerimaku dengan hangat. Ibu Choi merawatku seakan aku lahir dari dalam rahimnya.” Pria itu lanjut bercerita.

Nara mengeratkan genggaman tangannya pada Sehun. “Selalu ada pembalasan bagi orang baik sepertimu, Sehun.” Gadis itu menanggapi.

“Beberapa tahun di kehidupanku yang tenang. Jessica tertangkap,” ujar Sehun.

Nara terkesiap, “Jessica?”

Sehun terkekeh muram. “Anehnya nama ibu biologis kita sama.”

Napas berat dihembuskan Nara. Pantas saja, Sehun memberengut ketika Nara menyebutkan nama Jessica.

“Aku enggan mengakui dirinya sebagai ibuku. Wanita sepertinya merusak pengertian kasih dari seorang ibu,” kata Sehun. Pria itu mengakhiri ucapannya dengan menyunggingkan senyum pada Nara.

“Aku baik-baik saja, gadis cengeng. Sudah jangan menangis.” Sehun berusaha menghibur Nara. “Hai, seharusnya aku yang bersedih. Kenapa malah kau yang menangis?” tanya pria itu.

Nara mencebik, “Aku hanya menyesal. Bodohnya aku menyiakan waktu, seharusnya aku kabur dari rumah sejak dulu agar dapat berjumpa denganmu lebih cepat. Bukan malah, menjalani kisah cinta konyol dengan si brengsek itu.” Gadis itu mengeluh, kesal sekali.

Sehun menyemburkan tawa. “Kau akan menyusahkan banyak orang jika hal tersebut terjadi.”

“Aku suka tantangan, apalagi membuat orang panik setengah mati.” Nara berseloroh. Gadis itu berdiri dari tempat duduk, menepuk gaunnya sekilas kemudian menarik tangan Sehun.  “Temani aku masuk ke dalam, riasanku luntur akibat ceritamu tadi. Aku harus membereskannya” Pinta gadis itu.

Sehun mengikuti langkah Nara lebar-lebar.

“Aku rasa kita kabur terlalu lama,” kata Sehun. Pria itu menggiring Nara pada barisan paling depan. Ia menunggu 30 menit lamanya, penuh kesabaran ketika Nara membenarkan lukisan yag mempercantik paras.

Krystal tengah menjadi fokus dari seluruh perhatian dalam ruangan ini. Wanita itu membawa sebuket bunga

 yang siap dilemparkan. Para gadis lain berusaha memperebutkan. Mawar putih itu melambung ke udara, mereka seperti mengetahui siapa pemiliknya. Jatuh dan bermuara dipelukan satu-satunya gadis yang memiliki kulit pucat. Nara terlonjak kaget akan keberuntungannya memiliki seikat mawar itu.

Nara menyita perhatian. Ia hanya tersenyum menanggapi selorohan, ucapan selamat, dan nada menggoda dari sebagian pengamat. Bahkan, Nara sempat menangkap ekspresi terkejut ibunya. Tentu saja, Nara masih mengingat dengan benar jika Jessica merupakan penggila mitos. Apalagi, mitos mengenai gadis yang mendapatkan bunga lemparan mempelai wanita akan segera menikah.

“Selamat Nona Jung, sebentar lagi kau akan menikah.” Sehun berbisik di telinga Nara, nadanya merayu.

Pipi Nara bersemburat merah jambu, berusaha tak menanggapi godaan Sehun pada dirinya.

Sekarang pun aku rela berjanji di depan altar, jika itu bersamamu, Oh Sehun. Batin Nara menjawab, tegas.

.

.

.

“Hidupku benar-benar kembali sepi.” Nara mengunyah keripik kentang yang berada di pangkuannya. Ia mencuri pandang ke arah Sehun yang sedang sibuk bercengkrama dengan berkas-berkas menyesakkan.

Mereka sedang berada di ruang kerja Sehun. Nara kerja lembur menemani Sehun yang sedang digilas oleh tuntutan. Padahal Sehun hanya mengambil cuti tujuh hari untuk membantu persiapan pernikahan Luhan dan Krystal serta menjadi pemandu wisata selama Jessica berada di Seoul, akan tetapi akibatnya dahsyat—sampai Nara harus ikut-ikutan kena batunya.

Gadis itu sebenarnya tak perlu ikut campur tangan atas pekerjaan Sehun. Hanya saja, daulat bibi dan ibunya—Jessica memutuskan jika Sehun masuk dalam kriteria menantu idaman—membuat pria itu memiliki wewenang penuh untuk menjaga Nara, selama Krystal sedang berbulan madu. Sehun bertugas memonitor segala mobilitas Nara. Termasuk mengantar gadis itu pulang kantor, pergi berbelanja, dan bermain. Sungguh, Nara tidak perlu semua fasilitas yang diberikan Sehun. Toh, gadis itu memiliki anggota tubuh lengkap yang dapat menopang kemana saja Nara ingin pergi.

“Sehun aku mengantuk,” curhat Nara sembari menaruh bungkus makanan ringan di meja. Gadis itu mengeraskan suaranya, takut jika Sehun tak mendengarkan—ruangan ini terlalu luas.

Di Ruangan kerja Sehun ada beberapa titik yang memiliki fungsi berbeda. Tempat bersantai teridiri dari sofa dan meja kaca berkaki pendek. Berjarak empat meter dari sana terdapat bagian untuk bekerja. Pada titik pekerjaan, hanya ada perlengkapan kantor. Di ujung ruangan terletak dapur mini. Bagian yang paling Nara suka ialah, lantai kosong berdekatan jendela. Lapisan kaca itu tidak bertirai, membiarkan kerlipan cahaya lampu kota Seoul menerobos masuk. Apalagi malam hari seperti ini.

“Tidurlah, young lady.” Jawab Sehun.

Nara memutar bola matanya. Merutuki perilaku Sehun yang menggilai aktivitas kantor. “Badanku sakit semua kalau tidur di sofa,” kata Nara. Tangan gadis itu meraih boneka babi yang baru saja dihadiahi Sehun. Nara baru sadar jika seperangkat koleksi babi lucu ini adalah sogokkan agar ia mau menuruti Sehun.

“Kalau begitu jangan tertidur.” Gumam Sehun, goresan pena pada kertas menjadi latar musik perbincangan berbelit ini.

“Sangat menyelesaikan masalah.” Gerutu Nara. Ia merajut langkah ke arah Sehun. Nara memutar roknya yang miring, kemudian menghentakkan kaki telanjangnya. “Kau mengerjakan apa, sih?” Tanya Nara setelah berada cukup dekat dengan Sehun. Kepala gadis itu melongok, mencoba membaca kertas yang dicoret oleh Sehun.

“Memeriksa laporan,” katanya singkat.

Alis Nara bertaut, “kau memeriksa semua laporan ini sendirian? Bukannya kau punya manajer? Mereka bisa mengoreksinya, sesuai perintahmu.”

“Aku tidak mempercayai mereka.”

“Demi Tuhan, Oh Sehun. Ada puluhan divisi di kantor ini. Kau mengerjakan semuanya sendiri. Kalau begitu, apa untungnya kau menggaji karyawan?” tanya gadis itu, tidak terima.

“Aku tidak percaya pada mereka.” Sehun menjawab, kontennya sama.

Nara geram. “Kau harus belajar percaya pada orang lain.”

Sehun menghembuskan napas keras-keras. “Mencecerkan begitu banyak kepercayaan hanya membuatku kecewa,” ujar pria itu. “Pengkhianatan sudah menjadi sifat dasar manusia.” Lanjut Sehun.

Nara masih berdiri di tempatnya. Menatap Sehun lamat-lamat. “Apa kau juga tidak memberiku kepercayaanmu?” tanya Nara, getir.

Pria itu membalas tatapan Nara, kemudian menggeleng. “Tidak,” ia menegaskan melalui perkataan.

“Hebat!” Seru Nara, tawa hambar mengisi ruangan.

Sehun menyenderkan punggungnya pada kursi, pena yang sedari tadi ia genggam diletakkan. “Jangan marah,” katanya lembut. Sehun menarik Nara dalam pangkuannya.

Gadis itu terduduk di pelukan Sehun. Memejamkan mata sejenak. “Tidak perlu minta maaf, aku paham,” bisik Nara. “Tapi, jika rasa tidak percaya itu menyakiti dirimu sendiri… Aku sulit menerimanya.” Nara mengeluh.

Sehun memainkan ujung surai Nara. “Aku memahami kapasitas dari kemampuanku, nona Jung. Jangan khawatir.”

Mata Nara berkilat kesal. “Andai saja, kau bukan orang yang terus berada di pikiran dan hatiku. Aku pasti tidak akan sekhawatir ini. Ada kalanya kau harus membiarkan dirimu beristirahat, Tuan Gila Kerja. Aku tidak ingin kau lelah.”

Sehun terkekeh, mendengar suara gadisnya, memekik. Baginya itu lucu. “Aku tidak lelah. Apalagi, setelah memelukmu seperti ini. Aroma tubuhmu membuat bateraiku kembali penuh,” ujar pria itu sambil mengecup puncak kepala Nara.

Nara mendongakkan kepala. Menelusuri rahang Sehun—bagian favorit Nara—dengan bibirnya. Mengecup paras yang membuat mabuk kepayang. “Aku bersedia menjadi kekuatanmu seumur hidupku,” rayu Nara.

Tidak sabaran, Sehun merengkuh dagu gadisnya. Mencari apa yang sedari tadi diinginkannya. Bibir mereka melebur menjadi kapas empuk. Lumatan itu menggelontorkan sensasi memabukkan. Tangan Nara bergerak sendiri, memenjarakan leher Sehun. Ditekannya pria itu agar mencapai titik yang paling dalam.

Terengah-engah, Sehun melepaskan kecupan. “Bernapas, Jung Nara.” Pria itu memperingatkan.

Nara tersenyum, netranya sayu membentuk lengkungan. “Tentu saja, aku masih ingin hidup,” ujar gadis itu.

“Hidup untukku?” tebak Sehun.

Nara mengangguk.

Pria itu meringis. Sehun mengayunkan kotak abu-abu kecil yang entah darimana diambilnya.

“Apa itu?” tanya Nara, setelah Sehun memintanya membuka kotak melalui isyarat mata.

“Tebak, bukalah.” Jawab Sehun.

Nara membukanya dengan penuh kecurigaan. Betapa terkejut gadis itu mendapati sepasang cincin sederhana, bertahtakan mutiara yang dikelilingi oleh berlian. Berkilau. Sekali pandang, Nara telah jatuh cinta. “Indah sekali.” Gadis itu memuji. “Ini milik siapa?” tanyanya.

“Milik keluarga. Itu harta keluarga kami. Cincin turun temurun yang diwariskan pada menantu pertama,” jelas Sehun.

Nara mengerjapkan mata. “Tapi, kita sudah punya cincin pasangan.” Ekor mata gadis itu mengarah pada cincin yang dikenakannya kemudian milik Sehun.

“Jangan terlalu percaya diri. Menantu pertama, ingat. Itu akan jadi milik kita jika kau bersedia menikah denganku.” Kata Sehun, pria itu berusaha menahan senyum.

Nara cemberut, “Aku bersedia.”

“Berpikirlah dua kali sebelum bertindak, young lady. Aku akan menyuguhkan duniaku. Semua informasi mengenai diriku kuberikan padamu. Kau kukenalkan pada keluargaku, memoriku, dan kelainan mentalku. Setelah itu, baru putuskan.” Sehun membeberkan secara telaten, detail fakta yang perlu dipelajari.

“Tidak perlu. Aku menerimamu apa adanya. Dirimu yang sekarang, esok atau lusa,” tekan gadis itu.

Sehun menyeringai, “tapi ini bukan diriku yang sebenarnya.” Jawab Sehun. “Kita perlu membuka lembaran yang berbeda dan keberanian ganda agar dapat mengungkap bagaimana aku sebenarnya.” Sehun memberikan penjelasan lebih.

Nara mengigit bibir mendengar jawaban Sehun.

Ada raut berbeda di sana. Seringaian itu mengaburkan kasih yang tersirat dari Sehun selama ini. Sehun yang bukan Sehun.

Lalu, siapa Sehun, sebenarnya?

Pertanyaan ini… Apakah nantinya mencelakakan Nara?

Sehun menyeringai penuh maksud.

-oOo-

598 thoughts on “Outages: The Wedding

  1. jungkoala says:

    udah kaget liat judulnya :v
    waktu tau nama ibu mereka sama jg.. udh mikir sehun-nara jgn2 satu ibu ternyata ibu kandungnya sehun dipenjara

  2. indahword says:

    sehun masih main tarik tali,,, nara ttp bertahan untuk cinta yh,maksud sehun apa?”bukan diriku sebenar” selain sifat sehun yg digin apa sehun seorang monster hahahaha

  3. anastaayabrilliane says:

    Sehun kalo udah jatuh cinta jatuh cinta aja jangan nggantung gitu
    Itu Jessica jangan jangan ibunya sehun ya 😶

  4. aufklarung says:

    Pas tahu Jessica itu nama ibunya Nara, kupikir bakal ada kisah rumit dua saudara yang saling jatuh cinta, karna ayah Sehun sempat menyebutkan “Jess..” Sebelum dibunuh, syukurlah ternyata mereka bukan orang yang sama cuma senama saja. 😅😅
    Waw.. Sepertinya keluarga Jung dengan segala spontanitas nya itu bikin karakter mereka mencolok banget ya. Ga bikin Nara terkesan agresif setiap kali bilang ‘cinta’, seperti yang dilakukannya itu hal normal yang biasa dilakukan orang lainnya.
    Sehun beruntung punya Nara, atau sebaliknya??
    Aku suka part ini Titis 😍😍😍

  5. Junmyunni says:

    Aku malah sempet kepikiran jessica ibunya nara itu ternyata ibu sehun, HAHAHAHAHAHAHAHAHA
    Eh btw, nara kan tinggal di london, knapa namanya nara? Maksudku, kan ibunya pake nama jessica, bibinya pake nama krystal, keduanya pake nama barat, sdgkn nara? Itu udah nama barat? Emang sengaja pake nama korea?

  6. syifaj says:

    pas baca judulnya the wedding kirain nara yang nikah makanya aku sempet mikir cepet banget alurnya ternyata bukan nara wkwk. mungkin ga sih emaknya sehun sama nara orang yang sama? hihi ngarepnya sih gitu biar makin belibet ceritanya. sehun baik ga sih?

  7. Tri Mulianita says:

    kepribadian sehun susah bgt ditebak-,-
    sikapnya udh manis, tpi masih nda percaya sama nara -“””-

  8. Daryun says:

    Masih banyak rahasia dalam diri sehun, penasaraaann banget nyesel gak ya nara jatuh cinta sama sehun. Tapi gak ada penyeselan sia sia untuk jatuh cinta wkwk

  9. drp says:

    Outages : the weddinh

    Wah wah wah gilaa ini cerita ga bisa aku tebak sama sekali thor. Maksudnya sehun yg skrng bukanlah sehun itu gmn? Jd sifat aslinya bukan kaya gtu merinding jadinya klo liat karakter sehun. Perkataan sehun yang terkahir lebih mengarah ke mengerikan 😂 Moga konfliknya ga dahsyat amat ni

  10. Jun_201 says:

    Wahh wahh wahh sehun cukup memgerikan perkataannya terasa sangat berbahaya. Untung aja kehawatitan ku tidak terjadi aku sempat hawatir kalau mamanya nara adalah mamanya sehun untung aja enggak.. penasaran nih dengan sehun yang sebenarnya??!! Izin baca lanjutannya yaa!! Thanks and keep fighting!!

  11. Baby Bee says:

    Kenapa aku merasa itu cuma topengnya Sehun ya? Tapi di sisi lain Sehun juga keliatannya udah suka sama Nara. Nara juga gitu, udah kesengsem banget sama si Yehet.
    Betewe izin baca next chapt ya ^^

  12. kim hye jin says:

    Sehun jatuh cinta tapi dia gak tau dan gak ngakuin,nara keren banget bisa merubah sehun meskipun secara perlahan.semoga mereka bisa bersama dan nara bisa menyembuhkan gangguan sehun

  13. mhrn25 says:

    Ihhh aku udh takut aja ibu mereka sama… Terus nara sama lagi, aku juga punya koleksi babi wkkwk

    Oh iya btw pas bagian yg katanya sehun nak pembunuh dan korban pembunuhan sangat “mengesankan” atau “mengenaskan” ya??

    I love this ff so much!!

  14. azalea says:

    Pas baca title nya, kirain sehun sma nara yang nikah.
    Dahulukan yang lebih tua hmm.
    Emang sehun kenapa? Devil inside him? Monster inside him? Hmmm???

Leave a comment